Larangan Memanjangkan Rambut

Diriwayatkan dari Wa’il bin Hajr, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi pada saat itu rambutku panjang. Ketika Rasulullah melihatku beliau bersabda, “Dzubabun dzubabun.” Maka akupu pulang dan mencukur rambutku. Lalu keesokan harinya aku kembali mendatangi beliau, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya bukan kamu yang aku maksud, tetapi seperti ini kelihatan lebih baik,” (Shahih, HR Abu Dawud [3636]).
Diriwayatkan dari Sahl bin Hanzhalah, ia berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda,“Sebaik-baik lelaki adalah Khuraim al-Asadi, jika ia tidak memanjangkan rambutnya dan tidak menjulurkan sarungnya hingga bawah mata kaki.”
Ketika berita tentang sabda beliau tersebut sampai kepadanya, ia segera memendekkan rambutnya hingga setengah telinga dan mengangkat sarungnya hingga setengah betis, (Hasan, HR Abu Dawud [4089]).
Kandungan Bab:
  1. Memanjangkan rambut hukumnya makruh. Jika rambut sampai ke pundak disebut jummah. Jika panjangnya antara telinga dan pundak disebut lummah dan apabila rambut sejajar dengan kedua telinga disebut wafrah.
  2. Panjang rambut Rasulullah antara pundak dan telinga. Yakni antara jummah dan wafrah sebagaimana yang tertera dalam hadits shahih dari Anas dan Aisyah.
  3. Al-Baghawi dalam kitabnya Syarhus Sunnah (XII/101) berkata, “Hadits ini hanya untuk kaum laki-laki. Adapun kaum wanita seharusnya memanjangkan rambut dan jangan memendekkannya sampai bahu.”
Sumber:

Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/251-252.

Related Posts:

Larangan Memakai Cincin di Jari Tengah dan Telunjuk

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. pernah berkata kepadaku, “Wahai Ali, mintalah hidayah dan jalan yang yang lurus kepada Allah.” Beliau juga bersabda agar aku jangan memakai cincin di jari ini dan ini.’ Lalu Ali mensyaratkan jari telunjuk dan tengahnya,” (Shahih, HR Ibnu Majah [3647]).
Kandungan Bab:
  1. Larangan memakai cincin di jari telunjuk dan jari tengah.
  2. Dalam beberapa hadits ada yang menunjukkan memakai cincin pada tangan kanan dan hadits lain pada tangan kiri. Oleh karena itu terjadi perselisihan pendapat yang sangat hebat di kalangan ulama, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (X/327). Kemudian al-Hafidz menyimpulkan dengan membolehkan memakai cincin pada tangan kanan dan kiri. Pendapat inilah yang dipegang oleh Syaikh kami -hafidzullah- dalam kitab Mukhtashar asy-Syama’il Muhammadiyyah halaman. 62.
Sumber: 
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/251-252.

Related Posts:

Larangan Menemui Wanita Yang Bukan Mahram

ﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﺍﻟﺪُّﺧُﻮﻝَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ

“Jangan sekali-kali kalian masuk ke tempat wanita!”

Beliau ditanya, “Bagaimana dengan hamu?”

Beliau menjawab:


ﺍﻟْﺤَﻤْﻮُ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕُ

“Hamu adalah kematian.” 

(HR. al-Bukhary no. 4934 dan Muslim no. 2172 -pent)


Hamu adalah saudara suami (ipar) atau kerabat suami seperti anak pamannya dari pihak ayah atau ibu (sepupu) dan semisalnya.

Related Posts:

Larangan Memakai Emas Bagi Kaum Lelaki

Diriwayatkan dari ibnu Laila, ia berkata, “Hudzaifah pernah ditugaskan di al-Mada’in. Pada suatu ketika ia meminta minum Dihqaan datang dengan membawa air dalam gelas yang terbuat dari perak. Hudzaifah melempar Dihqaan dengan gelas perak tersebut lalu berkata, “Sesungguhnya aku melemparnya karena ia sudah pernah aku larang namun masih saja ia lakukan. Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Emas, perak, sutra, dan sutra dibaaj untuk mereka orang kafir di dunia dan untuk kalian nanti di akhirat’,” (HR Bukhari [5632] dan Muslim [2067]).
Diriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib , ia berkata, “Nabi memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dengan tujuh perkara. Beliau menyuruh kami untuk mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhi undangan, menolong orang yang teraniaya, membenarkan sumpah, menjawab salam dan mengucapkan tasymit atas orang-orang bersin. Beliau melarang kami memakai bejana perak, cincin emas, kain sutra, sutra dibaaj, kain qasy dan kain istibraq,” (HR Bukhari [1239] dan Muslim [2066]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah , dari Nabi , “Bahwasanya beliau melarang memakai cincin dari emas,” (HR BUkhari [5864] dan Muslim [2089]).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , bahwasanya Rasulullah pernah melihat seorang laki-laki memakai cincin emas, lalu beliau menanggalkannya dan membuangnya seraya bersabda,“Apakah salah seorang dari kalian ada yang berani dengan sengaja mengambil bara neraka lalu ia letakkan di tangannya?”
Setelah Rasulullah  pergi, kemudian dikatakan kepada laki-laki itu, “Ambil kembali dan manfaatkan cincinmu itu.” Laki-laki itu berkata, “Demi Allah, selamanya aku tidak akan mengambil kembali apa yang tleah dibuang Rasulullah ,” (HR Muslim [2090]).
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib , bahwasanya Nabi melarang memakai pakaian yang bergaris sutra dan yang dicelup dengan warna kuning, memakai cincing emas dan membaca al-Qur’an ketika ruku’,” (HR Muslim [2078]).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah pernah membuat cincin dari emas dan ketika memakainya beliau meletakkan bagian mata cincinnya di bagian telapak tangan. Maka orang-orang pun ikut membuat cincin seperti itu. Kemudian di saat duduk di atas mimbar, beliau menanggalkan dan bersabda, “Sesungguhnya aku dulu memakai cincin ini dan aku letakkan mata cincinnya di bagian telapak tangan.” Lalu beliau membuang cincin itu dan kembai bersabda, “Demi Allah aku tidak akan memakai cincin ini selamanya.” Maka orang-orangpun ikut membuat cincin mereka, (HR Bukhari [5868] dan Muslim [2091]).
Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah al-Khusyani , bahwasanya Nabi  melihat di tangan Abu Tsa’labah ada sebentuk cincin. Lalu beliau memukul-memukul cincin itu dengan sebatang tongkat yang ada di tangannya. Tatkala Nabi saw. lengah ia segera membuang cincin itu. Kemudian Nabi kemblai melihat ke tangan Tsa’labah dan ternyata cincin itu sudah tidak ada lagi. Lantas Nabi bersabda, “Ternyata kami telah menyakitimu dan membuatmu rugi,” (Shahih, HR Ahmad [IV/195]).
Diriwayatkan dari Salim bin Abi al-Ja’d dari seorang laki-laki kalangan kami dari suku asyja’, ia berkata, “Rasululah saw. melihatku memakai cincin dari emas. Lalu beliau menyuruhku untuk membuangnya. Maka akupun membuangnya sampai sekarang ini,” (Shahih, HR Ahmad [IV/260]).
Ada beberapa hadits lain dalam bab ini dari Umar, Imran, Abdullah bin Amr, Buraidah dan Jabir bin Abdillah 
Kandungan Bab:
  1. Hadits-hadits yang tercantum di bawah bab ini merupakan nash yang mengharamkan emas, khususnya cincin emas bagi kaum laki-laki.
  2. Adapun hadits yang mencantumkan bahwa Nabi  memakai cincin emas adalah hadits yang mansukh.Al-Baghawi berkata dalam kitabnya Syarhus Sunnah (57-58) sebagai komentar terhadap hadits Ibnu Umar, “Hadits mencakup dua perkara yang kemudian hukumnya berubah.
    • Memakai cincin emas, kemudian hukumnya berubah menjadi haram untuk kaum laki-laki.
    • Memakai cincin di sebalah kanan, kemudian pada akhirnya Nabi saw. memakainya di sebelah kiri. Al-Hafid Ibnu Hajar berakta dalam kitabnya Fathul Baari (X/318), “Hadits Ibnu Umar merupakan bukti dimansukhkannya pembolehan memakai cincin apabila cincin tersebu terbuat dari emas.”
    • Dibolehkan menjual cincin emas dan memanfaatkan hasis penjualannya. Oleh karena itu para sahabat berkata kepada laki-laki tersebut, “Ambil kembali cincinmu dan manfaatkanlah.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/251-252.

Related Posts:

Larangan Memberikan Warisan Kepada Orang Kafir dan Sebaliknya

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid bahwasanya Nabi bersabda, 
“Seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi seorang muslim,” (HR Bukhari [6764] dan Muslim [1614]).
Dalam bab ini terdapat hadits dari Abdullah bin Umr, Jabir, Dan Abdullah bin Abbas.
Kandungan Bab:
  1. Perbedaan agama merupakan penghalang hak pewarisan. Dan barangsiapa membolehkan seorang muslim menerima warisan dari ahlul kitab dan mengkiyaskan dengan bolehnya menikahi ahli kitab, maka ini adalah qiyas yang salah dan bertentangan dengan nash.
  2. Jika seorang kafir masuk Islam sebelum dibagikannya warisan, maka ia tidak menerima warisan. Karena warisan berhak dimiliki dengan kematian orang yang mewariskan. Sedangkan ketika itu ia masih kafir. Dengan demikian saat itu ada penghalang yang menghalanginya untuk menerima warisan. Bentuk masalahnya adalah jika seorang meninggal dunia sedangkan ia meninggalkan dua orang anak, seorang muslim dan seorang kafir. Lalu anak yang kafir tersebut masuk Islam sebelum harta warisan dibagikan.
  3. Dua orang yang berlainan agama tidak saling mewarisi meskipun keduanya kafir.
    Asy-Syaukani berkata dalam kitabnya Nailul Authar (6/194), “Dan kesimpulannya hadits-hadits bab memutuskan bahwa seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir, baik kafir harbi, dzimmi, ataupun murtad. Tidak boleh dikhususkan darinya kecuali dengan dalil.”
    Zhahir dari ucapan beliau, “Dua orang yang berlainan agama tidak saling mewarisi.” adalah seorang pemeluk agama kafir dari pemeluk agama kafir yang lain. Ini yang dikatakan oleh al-Auza’i, Malik, Ahmad, dan al-Hadawiyah. Adapun jumhur membawakan maksud dua millah di sini adalah Islam dan Kafir. Tidak samar lagi jauhnya pendapat itu. Adapun dalam masalah hak warisan seorang yang murtad terdapat pendapat-pendapat lain selain yang kami sebutkan di atas.
Sumber: 
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/445-453.

Related Posts:

Larangan Memotong Tangan Pencuri Yang Tidak Mencapai Nishab Dalam Mencurinya

Diriwayatkan dari Aisyah , dari Rasulullah bersabda, 
Tidak boleh dipotong tangan pencuri kecuali ia mencuri barang seharga seperempat dinar atau lebih,” 
(HR Muslim [1684]).
Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij , bahwasanya Rasulullah  bersabda, 
“Tidak ada potong tangan pada pencurian tsamar dan katsar,” 
(Shahih, HR at-Tirmidzi [1449] dan Ibnu Majah [2593]).
Diriwayatkan dari Amr bin Sya’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah , bahwasanya beliau ditanya tentang buah yang masih tergantung di pohon. Maka beliau bersabda, 
Barangsiapa mengambilnya karena kebutuhan tanpa mengantonginya, maka tidak ada hukuman atasnya. Barangsiapa yang membawanya keluar maka ia dikenakan denda dua kali lipat dan hukuman. Barangsiapa mencuri buah yang telah disimpan dalam tempat pengeringan kurma dan mencapai harga seperempat dinar maka ia dipotong tangannya,” 
(Shahih lighairihi, HR Abu Dawud [1710] dan at-Tirmidzi [1289]).
Diriwayatkan dari Junadah bin Abi Umayah, dia berkata, “Kami bersama Busr bin Arthah berada dalam perjalanan di lautan. Lalu dibawalah seorang pencuri bernama mashdar yang telah mencuri kain bukhtiyah. Maka Busr berkata, ‘Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tidak boleh dipotong tangan karena mencuri dalam perjalanan.’ Kalaulah bukan karena hadits itu niscaya aku telah memotong tangannya’,” 
(Shahih, HR Abu Dawud [4408] dan at-Tirmidzi [1450]).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah , bahwasanya Nabi bersabda, 
“Tidak ada hukum potong tangan bagi seorang muntahib (penodong), pencopet, dan pengkhianat,” 
(Shahih, HR Abu Dawud [4391]).
Kandungan Bab:
  1. Hukuman potong tangan bagi pencuri ditetapkan dalam Kitab, Sunnah, dan ijma’. Akan tetapi dalam masalah ini ada beberapa cabang yang menghalangi jatuhnya hukum potong tangan. Itulah yang aku kumpulkan dalam bab ini.
  2. Tidak boleh dipotong tangan seorang pencuri kecuali jika barang yang dicurinya telah mencapai harga seperempat dinar lebih, atau tiga dirham, atau harga al-mijan (perisai). Tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini. Satu dinar sama dengan dua belas dirham. Maka seperempat dinar ialah tiga dirham. Dan harga al-mijan adalah tiga dirham.
    Oleh karena itu nishab barang curian adalah tiga dirham. Jika barang yang dicuri telah mencapai tiga dirham, maka jatuhlah hukum potong tangan. Dan jika belum mencapai tiga dirham, maka tidak dipotong.
  3. Mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam dari tempat penyimpanan. Jika barang itu tidak disimpan atau dilindungi atau mengambil secara terang-terangan maka ia disebut mukhtalis, muntahib, dan khaain dan tidak ada hukum potong tangan atasnya.
  4. Buah-buahan jika telah dipagar dan yang dicuri telah mencapai nishab maka wajib dijatuhkan hukum potong tangan. Namun jika tidak dipagar maka ia terkena denda yang dilipatgandakan dan hukuman. Dengan demikian hadits Abdullah bin Amr mengkhususkan hadits Rafi’.
    Ath-Thahawi berkata dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/173), “Rasulullah saw. membedakan buah yang dicuri antara buah yang disimpan di tempat pengeringan dengan buah yang belum disimpan yakni yakni masih berada di pohon. Dan menetapkan hukum potong tangan dalam pencurian buah yang telah disimpan. Adapun buah yang belum disimpan maka sangsinya adalah denda dan hukuman.”
    Penjelasan hadits ini dan hadits riwayat Rafi’ dari Rasulullah , “Tidak ada hukum potong tangan pada tsamar dan katsar,” adalah membawakan hadits Rafi’ kepada makna buah-buahan yang berada di kebun dan tidak dipagar atau dilindungi apa-apa yang ada di dalamnya. Dan apa yang disebutkan dalam hadits Abdullah bin Amr sebagai tambahan bagi hadits Rafi’. Berbeda dengan hadits Rafi’, dalam hadits ini disebutkan hukum potong tangan dan tidak ada hukum potong tangan pada selain itu. Kedua atsar ini sejalan dan tidak bertentangan. Dan ini adalah ucapan Abu Yusuf.
  5. Demikian halnya mencuri kambing yang berada di padang gembalaan. Yakni tempat khusus untuk mengembala yang berada di gunung. Tidak ada hukum potong tangan padanya kecuali jika dipagar atau dijaga.
  6. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah penjagaan bagaimana sifatnya. Dan yang benar adalah setiap bentuk yang dimaklumi manusia sebagai bentuk penjagaan bagi harta semacam itu. Maka itu mu’abar. (lihat Syarah Sunnah [X/319]).
  7. Tidak ditegakkan hukuman pada saat safar dan peperangan.
    At-Tirmidzi berkata (4/53), “Inilah yang diamalkan menurut sebagian ulama, diantaranya al-Auza’i. Tidak boleh ditegakkan hukuman dalam pertempuran saat berhadapan dengan musuh karena dikhawatirkan orang yang dijatuhkan hukuman itu akan bergabung dengan musuh. Dan jika imam telah keluar dari medan pertempuran dan kembali ke daarul Islam maka hukuman dilaksanakan pada orang yang berhak menerimanya. Demikian yang dikatakan al-Auza’i.”
  8. Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukuman potong tangan pada orang yang mengingkari barang pinjaman. Karena perbendaan mereka dalam menyikapi kisah seorang wanita Makhzumiyah, apakah ia meminjam barang lalu mengingkarinya ataukah ia mencuri. Keduanya disebutkan dalam riwayat.
    Diriwayatkan dari Aisyah r.a, dia berkata, “Seorang wanita Makhzumiyah meminjam barang lalu mengingkarinya. Maka Nabi saw. memerintahkan agari dipotong tangannya,” (HR Muslim [1688]).
    Dan diriwayatkan juga darinya, “Orang-orang Quraisy dibuat prihatin oleh seorang wanita Makhzumiyah yang mencuri,” (takhrij akan disebutkan pada berikutnya).
    Saya katakan, “Kedua riwayat ini tidak saling bertentangan, walhamdulillah, ditilik dari beberapa sisi:
    1. Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini menafsirkan maksudnya. Diantaranya penejelasan bahwasanya mengingkari barang pinjaman termasuk dalam kategori mencuri menurut tinjauan syar’i.
    2. Riwayat ini tidak bertentangan dengan sabda Nabi , “Tidak ada hukum potong tangan bagi khaain,” dimana sebagian ulama membawakan maknanya kepada orang yang meminjam lalu mengingkari. Dan yang benar al-khaain adalah yang mengingkari barang titipan.
    Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah membantas masalah ini dan berkata dalamZaadul Ma’ad (V/50), “Dan hukuman bagi seorang wanita yagn meminjam barang lalu mengingkarinya adalah dipotong tangannya. Imam Ahmad menyebutkan hukuman ini, dan ini tidaklah bertentangan. Adapun hukum Nabi saw. yang mengangkat hukum potong tangan dari seorang muntahib, mukhtalis, dan khaain, yang dimaksud dengan khaain adalah orang yang mengkhianati barang yang dititipkan kepadanya.”
    Adapun orang yang mengingkari barang pinjaman termasuk dalam kategori mencuri menurut tinjauan syari’at. Karena Nabi ketika para sahabat melaporkan kepada beliau tentang seorang wanita yang meminjam barang dan mengingkarinya, beliau memerintahkan agar dipotong tangannya, seraya mengatakan, “seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya telah aku potong tangannya.”
    Dimasukkan seroang yang mengingkari barang pinjaman dalam kategori pencuri adalah sebagaimana dimasukkannya seluruh benda yagn memabukkan dalam kategori khamr. Maka silahkan diperhatikan. Itu adalah penjelasan bagi ummat tentang maksu Allah dalam kalam-Nya.
Sumber: 
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/453-463.

Related Posts:

Larangan Menuduh Wanita Baik-Baik Lagi Mukminah Berbuat Zina

Allah berfirman, 
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik,” (an-Nuur: 4).
Allah Ta’ala juga berfirman, 
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya),” (an-Nuur: 23-25).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang mendatangkan kebinasaan.” Para sahbat bertanya, “Apakah ketujuh perkara itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan syari’at, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, dan melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita mukminah yang terjaga dari perbuatan dosa dan tidak tahu menahu dengannya,” (telah disebutkan takhrijnya).
Kandungan Bab:
  1. Kerasnya pengharaman menuduh berzina wanita mukminah yang terjaga dari perbuatan dosa dan tidak tahu menahu dengannya. Dan penjelasan bahwasanya perbuatan itu termasuk dosa besar dan terdapat di dalamnya laknat, adzab, dan disyari’atkannya hukuman.
  2. Hukum menuduh laki-laki baik sama dengan menuduh wanita baik-baik. Para ulama tidak membedakan antara keduanya.
  3. Hukuman bagi pelaku perbuatan ini mengandung tiga hukuman: dicambuk sebanyak delapan puluh kali, tidak diterima persaksiannya, dan pelakunya dihukumi fasik.
  4. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum menuduh budak berbuat zina, apakah wajib dijatuhkan hukuman ataukah tidak? Dan telah disebutkan pendapat yang rajih yakni wajibnya dijatuhkan hukuman dalam kitab al-‘itqu.
  5. Terangkatnya hukuman bagi palaku jika ia mendatangkan empat orang saksi.
  6. Barangsiapa menuduh seseorang melakukan liwath (homosek) atau mengeluarkan seorang dari nasabnya yang ma’ruf, maka ia dicambuk sebagaimana hukuman menuduh zina.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/453-463.

Related Posts:

Larangan Melakukan Perbuatan Kaum Luth

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas,” (al-A’raaf: 81).
Allah Ta’ala berfirman, “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu),” (an-Naml: 55).
Allah Ta’ala berfirman, “Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun[1149] dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar,” (al-Ankabuut: 29).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Rasulullah bersabda,“Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan atas ummatku adalah perbuatan kaum Luth (homoseksual),” (Hasan, HR at-Tirmidzi [1457]).
Diriwayatkan dasri Abdullah bin Abbas, “Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth’,” (Shahih, HR Ahmad [I/3090]).
Kandungan Bab:
  1. Larangan keras terhadap perbuatan kaum Luth.
  2. Hukuman bagi pelaku liwath adalah dibunuh. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas , ia berkata, “Rasulllah bersabda, ‘Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah baik pelaku maupun yang dilakukan terhadapnya’,” (Shahih, HR Abu Dawud [4462]).
  3. Para ulama berbeda pendapat tentang kaifiyah membunuhnya. Ada yang mengatakan, diruntuhkan bangunan atas keduanya. Ada yang mengatakan, dilemparkan dari tempat yang tinggi sebagaimana yang dilakukan terhadap kaum Luth. Dan pendapat yang paling kuat adalah dirajam, berdasarkan hadits Abu Hurairah , dari Nabi tentang pelaku liwath, “Rajamlah baik yang di atas maupun yang di bawah. Rajamlah keduanya.”
  4. Bila dikatakan, “Paraulama telah berselisih pendapat tentang hukuman bagi pelaku liwath.” Maka jawabnya perselisihan ini tidak mu’tabar, berdasarkan beberapa alasan:
    • Shahihnya hadits-hadits tentang hukuman bagi pelaku liwath.
    • Ijma’ sahabat atas pembunuhan pelaku liwath. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (V/40), “Tidak ada riwayat dari Nabi saw. bahwasanya beliau menetapkan hukuman bagi pelaku liwath. Karena perbuatan seperti ini tidak dikenal di kalangan bangsa Arab dan permasalahan tersebut tidak pernah diangkat kepada beliau. Akan tetapi telah shahih riwayat bahwasanya beliau bersabda, ‘Bunuhlah baik pelaku ataupun yang dilakukan terhadapnya.’ Hadits ini diriwayatkan oleh penulis kitab Sunnan yang empat dan sanadnya shahih. At-Tirmidzi berkata, ‘Hadits hasan dan Abu Bakar menetapkan hukum ini serta menulis kepada Khalid setelah bermusyawarah dengan para sahabat. Dan Ali adalah orang yang paling keras dalam masalah ini’.”
    Ibnu Qashar dan Syaikh kami berkata, “Para sahabat telah bersepakat atas pembunuhan pelaku liwath. Dan mereka berselisih tentang cara membunuhnya.” Abu Bakar ash-Shidiq berkata, “Dilempar dari tempat yang tinggi.” Ali berkata, “Diruntuhkan bagunan atasnya.” Dan Ibnu Abbas berkata, “Keduanya dibunuh dengan batu.” Ini merupakan kesepakan mereka atas pembunuhan pelaku liwath meskipun mereka berbeda pendapat tentang cara membunuhnya.Penulis kitab ad-Da’ wad Dawa’berkata (hal.263), “Para sahabat Rasulullah saw. telah bersepakat atas pembunuhan pelaku liwath. Tidak ada seorangpun dari mereka yang menyelisihinya. Dan mereka berbeda pendapat tentang cara membunuhnya. Sebagian orang menyangka bahwasanya mereka berselisih dalam hal membunuhnya dan mengira bahwa masalah ini diperselisihkan di antara para sahabat. Padahal masalah ini adalah ijma’ di antara mereka, bukan masalah yang diperselisihkan.”
Sumber:
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/453-463.

Related Posts:

Larangan Menyetubuhi Binatang

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , Rasulullah bersabda, 
Barangsiapa kalian dapati sedang menyetubuhi binatang, maka bunuhlah ia dan bunuhlah binatang tersebut.”
Dikatakan kepada Ibnu Abbas, “Mengapa binatang itu juga dibunuh?” Dia menjawab, “Aku tidak mendengar dari Rasulullah saw. apa alasannya. Akan tetapi aku melihat beliau benci memakan dagingnya atau memanfaatkannya sementara telah dilakukan perbuatan nista tersebut terhadapnya,” 
(Shahih, HR Abu Dawud [4664]).
Kandungan Bab:
  1. Kerasnya pengharaman menyetubuhi binatang. Ibnu Hazm berkata dalam al-Muhalla(11/388), “Tidak ada perselisihan di antara seorangpun dari para imam bahwasanya menyetubuhi binatang hukumnya haram. Dan pelakunya adalah pelaku perbuatan mungkar.”
  2. Hukuman bagi orang yang menyetubuhi binatang adalah dibunuh.
    Ibnu Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’aad (5/41), “Dan hukum ini selaras dengan hukum syari’at. Sesungguhnya suatu perkara haram, jika semakin keras pelarangannya maka semakin berat pula hukumannya. Dan menyetubuhi sesuatu yang tidak boleh disetubuhi sama sekali lebih besar dosanya daripada menyetubuhi sesuatu yang boleh disetubuhi pada sebagian keadaan. Maka hukumannya juga semakin keras. Imam Ahmad menetapkan salam salah satu riwayat darinya bahwa hukuman orang yang menyetubuhi binatang sama dengan hukuman pelaku liwath. Yakni dibunu, atau hukumannya sama dengan hukuman pezina. Para salaf berselisih pendapat dalam masalah itu. Al-Hasan berkata, ‘Hukumannya adalah hukuman pezina.’ Abu Salamah meriwayatkan darinya, ‘Pelakunya dibunuh.’ Asy-Sya’bi dan an-Nakha’i berkata, ‘Diberi hukuman peringatan.’ Dan ini pendapat yang diambil Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam sebuah riwayat. Ibnu Abbas memfatwakan hal itu dan dia adalah perawi hadits.”
  3. Hewan tersebut dibunuh. Dan telah disebutkan alasan hal itu bahwasanya Rasulullah saw. benci memakan dagingnya atau memanfaatkannya. Dan dikatakan, “Agar pemiliknya tidak rusak kehormatannya.” Dikatakan juga, “Agar orang-orang tidak ingat terhadap perbuatan nista tersebut saat melihat binatang itu.” Dan masih ada pendapat-pendapat yang lain.
    Asy-Syaukani berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya binatang itu dibunuh. Dan alasannya adalah seperti yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud dan an-Nasa’i bahwasanya dikatakan kepada Ibnu Abbas, ‘Mengapa binatang itu juga dibunuh?’ (dan dia menyebutkan ucapannya).”
    Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa alasannya adalah agar tidak dikatakan, “Inilah binatang yang telah dilakukan terhadapnya begini dan begini.”
    Sebagian ulama berpendapat haramnya memakan binatang yang telah dilakukan terhadapnya perbuatan nista tersebut. Dan bahwasanya dia disembelih. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Ali bin Abi Thalib dan asy-Syafi’i dalam perkataannya.
    Adapun hadits bahwasanya Nabi melarang menyembelih binatang kecuali untuk dimakan adalah dalil umum yang dikhususkan dengan hadits bab.
Sumber: 
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/453-463.

Image result for logo hubungan

Related Posts:

Larangan Mencela Orang yang Menjalani Hukuman

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab, bahwasanya ada seorang laki-laki pada zaman Nabi  yang bernama Abdullah. Julukannya adalah himar. Ia sering membuar ketawa Rasulullah Nabi pernah menjatuhkan hukum cambuk kepadanya karena kasus minum minuman keras. Suatu hari ia dibawa ke hadapan Nabi, lalu beliau memerintahkan agar ia dicambuk. Seorang laki-laki berkata, “Ya Allah, laknatlah ia. Betapa besar dosa yagn ia lakukan.” Maka Nabi bersabda, “Janganlah engkau melaknatnya. Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali dia adalah orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya,” 
(HR Bukhori [6780]).   

Diriwayatkan dari Abu Hurairah , ia berkata, Nabi mendatangi seseorang yang sedang meminum khamr. Maka beliau memerintahkan agar ia didera. Diantara kami ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya dan ada yang memukul dengan bajunya. Setelah selesai ada yang berkata,”Ada apa dengannya, mudah-mudahan Allah menghinakannya.” Maka Rasulullah bersabda,“Janganlah kalian menjadi penolong syaitan atas saudara kalian,” 
(HR Bukhari [6781]).   

Diriwayatkan dari Buraidah , ia berkata, “Datang seorang wanita Ghamidiyah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku telah berzina, maka sucikanlah aku.’ Namun beliau  menolak persaksiannya. Keesokan harinya ia kembali dan berkata, ‘Wahai Rasulullah mengapa engkau menolakku? Barangkali engkau menolak persaksianku seperti engkau menolak persaksian Ma’iz. Demi Allah sesungguhnya aku sedang hamil.’ Rasulullah berkata, ‘Adapun sekarang tidak. Pergilah hingga engkau melahirkan.’ Setelah wanita itu  melahirkan, ia datang kepada Nabi dengan membawa bayinya dalam sebuah kain seraya berkata, ‘Ini aku telah melahirkan.’ Beliau berkata, ‘Pergilah dan susuilah ia hingga engkau menyapihnya.’  Setelah wanita itu menyapihnya, ia datang kepada Nabi bersama bayinya sedang di tangannya ada sekantong roti. Iapun berkata, ‘Wahai Nabi, aku telah menyapihnya dan ia telah makan makanan.’ Maka beliau menyerahkan bayi itu kepada salah seorang kaum muslimin kemudian memerintahkan agar wanita itu dikubur sebatas dadanya dan memintahkan orang-orang untuk merajamnya. Lalu datanglah Khalid bin Walid dengan membawa dan melempar kepala wanita itu. Maka memerciklah darah ke wajah Khalid. Lalu ia mencaci wanita itu. Nabi mendengar cercaan Khalid kepadanya, lalu ia bersabda:


‘Tahanlah wahai Khalid, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ia telah bertaubat dengan taubat yang seandainya shohibul maksi (yakni pembantu orang zhalim yang biasa menarik pajak saat jual beli. Dan biasa disebut al-Jamaarik) bertaubat dengannya niscaya akan diampuni.’ Kemudian beliau memerintahkan agar ia shalatkan dan dikuburkan.”
Kandungan Bab:
  1. Larangan melaknat dan mencela seseorang yang sedang mejalani hukuman. Karena hukuman merupakan kafarah.
  2. Melaknat orang yang menjalani hukuman atau mencelanya adalah perbuatan menolong syaitan atas orang tersebut. Karena syaitan ingin menghiasi maksiat baginya agar ia mendapat kehinaan. Jika ia mendo’akan bagi saudaranya kehinaan, laknat atau cercaan, maka seakan-akan mereka mewujudkan keinginan syaitan.
  3. Boleh memberikan teguran atau kecaman terhadap orang yang menjalani hukuman atas perbuatan buruknya. Misalnya dengan mengatakan, “Tidakkah engkau taku kepada Allah?” atau “Tidakkah engkau malu kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin?”
Sumber: 
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/474-475.

Related Posts:

Larangan Memberikan Bantuan Untuk Menghalangi Penegakan Hukum

Allah berfirman, 

"Dan barangsiapa yang memberikan syafa'at buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya..." 
(an-Nisa': 85).   

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, Rasulullah bersabda, 

"Barangsiapa yang bantuannya menghalangi penegakan hukum Allah berarti ia telah melawan hukum perintah Allah. Barangsiapa yang mati meninggalkan hutang, maka di akhirat tidak ada lagi dinar dan dirham akan tetapi yang ada hanyalah hitungan pahala dan dosa. Barangsiapa yang berdebat membela kebathilan sementara ia mengetahuinya maka ia berada dalam kemurkaan Allah hingga ia meninggalkannya. Barangsiapa yang berkomentar tentang seorang muslim sesuatu yang tidak ada padanya maka ia akan dibenamkan dalam radghatul khabal (lumpur yang berasal dari perasan keringat penduduk neraka) hingga ia keluar dari perkataannya," 
(shahih, HR Abu Dawud [3597]).

  Rasulullah  berkata kepada Usamah bin Zaid   ketika membantu seorang wanita al-Makhzumiyyah, "Apakah engkau memberikan bantuan untuk menghalangi pengegakan hukum Allah?"

Kandungan Bab:
  1. Haram hukumnya memberikan bantuan untuk menghalangi penegakan h ukum Allah, karena itu adalah hak Allah maka tidak boleh dipandang remeh.
  2. Barangsiapa yang bantuannya menghalangi penegakan hukum Allah berarti ia telah melawan perintah Allah dan kekuasaan-Nya.
  3. Hadits-hadits bab di atas berlaku apabila kasusnya sudah diangkat kepada imam (penguasa). Adapun sebelum itu, dibolehkan memberikan bantuan, waallahu a'lam. Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (X/329), "Hadits ini berlaku apabila kasusnya sudah sampai kepada imam, adapun sebelumnya makan dibolehkan memberikan bantuan untuk menjaga kehormatan tardakwa. Sebab menutupi kesalahan orang yang berbaut kesalahan adalah dianjurkan." Dalilnya adalah sabda Nabi saw, "Saling memaafkanlah di antara kamu dalam perkara hudud, namun apabila kasusnya sampai kepadaku maka harus diproses," (Shahih lighairhi, HR Abu Dawud [4376]).
  4. Dibolehkan memberikan bantuan dalam hukum ta'zir (bukan hukum hudud), berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Maafkanlah kesalahan orang-orang yang terpuji akhlaknya kecuali dalam masalah  hudud," (Shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [465]). Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (X/330), "Di dalam ini terdapat dalil bolehnya menggugurkan hukum ta'zir, karena hukum ta'zir tidaklah wajib. Kalaulah wajib tentunya sama saja antara orang yang terpuji akhlaknya dengan lainnya." Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqaalani dalam Fathul Baari (XII/88) berkata, "Dapat diambil faidah darinya bolehnya memberi bantuan hukum ta'zir. Ibnu Abdil Baar dan lainnya telah menukil kesepakatan dalam masalah ini. Termasuk di dalamnya semua hadits yang berisi anjuran menutupi kehormatan seorang muslim. Namun semua itu berlaku apabila kasusnya belum sampai kepada penguasa."
  5. Sebagian ulama berpendapat bahwa bantuan hukum boleh diberikan kepada orang-orang yang diketahui tidak suka mengganggu orang lain. Kesalahan yang dilakukannya itu dianggap sebagai sebuah kekeliruan. Aku katakan, "Hal itu didukung oleh makna tersirat yang diambil dari kata Dzawil Haihaat (orang yang terpuji akhlaknya). Imam al-Baihaqi (VIII/334) meriwayatkan dari imam asy-Syafi'i bahwa beliau berkata, "Hanya orang-orang yang dikenal sebagai orang jahat. Seseorang tentunya kadangkala tergelincir dalam kesalahan."
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/476-478.

Related Posts:

Larangan Menegakkan Hukum Hanya Kepada Orang Lemah Tidak Kepada Orang Terpandang

Diriwayatkan dari Aisyah bahwa kaum Quraisy sangat prihatin disebabkan kasus seorang wanita al-makhzumiyyah yang kedapatan mencuri. Mereka berkata, "Siapakah yang berani berbicara kepada Rasulullah ? Tidak ada yang berani kecuali Usamah, orang yang dikasihi oleh Rasulullah " Maka Usamah pun berbicara kepada beliau. Rasulullah berkata, "Apakah engkau ingin memberikan bantuan untuk menghalangi penegakan hukum Allah?" Kemudian beliau bangkit dan berkhutbah, 

"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya ummat sebelum kalian sesat disebabkan apabila orang-orang terpandang kedapatan mencuri maka mereka lepaskan dari hukuman namun apabila orang lemah yang mencuri mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalau Fathimah bin Muhammad mencuri niscaya Muhammad akan memotong tangannya," 

(HR Bukhari [6788] dan Muslim [1688]).   

Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, ia berkata, "Rasulullah bersabda,

'Tegakkanlah hukum Allah atas orang yang dekat ataupun orang yang jauh. Janganlah engkau terpengaruh celaan orang-orang yang suka mencela dalam penegakan hukum Allah'," 

(Hasan, HR Ibnu Majah [2540]).

Kandungan Bab:

  1. Kerasnya pengharaman memberikan bantuan dalam masalah hudud setelah kasusnya sampai kepada imam (penguasa).
  2. Pemilahan dalam penegakan  hukum yang dilakukan oleh penguasa adalah bentuk kezhaliman yang bisa mendatangkan kebinasaan dan kesesatan atas ummat. Oleh karena itu seharusnya atas waliyul amri tidak pandang bulu dalam penegakan hukum Allah dan syari'atnya atas orang yang berhak menerimanya, meskipun ayah atau anak sendiri, atau karib kerabat atau orang yang terhormat, mulia dan terpandang.
  3. Diharuskan mengingkari secara tegas terhadap oknum yang berusaha meremehkan penegakan hukum hudud atau  meminta keringanan untuk menggugurkan hukuman atau memberikan bantuan bagi terpidana.
  4. Imam atau wakilnya harus menjalankan proses hukum apabila kasusnya sudah diangkat kepadanya. Janganlah ia menerima pembelaan dari orang-orang yang berusaha memberi pembelaan. Janganlah ia terpengaruh dengan orang-orang yang suka mencela dalam menegakkan hukum Allah.
  Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/478-480.

Related Posts:

Larangan Menjalankan Hukum Atas Orang Gila

Diriwayatkan dari Abu Hurairah , ia berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah  saat itu beliau berada di masjid. Laki-laki itu memanggil beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku telah berzina!’ Namun Rasulullah  berpaling darinya, sehingga ia mengulangi pengakuannya sampai empat kali. Setelah ia bersaksi atas dirinya sebanyak empat kali persaksian Rasulullah memanggilnya dan bertanya, ‘Apakah engkau gila?’ Ia menjawab, ‘Tidak!’ ‘Apakah engkau sudah menikah?’ tanya beliau. ‘Sudah!’ katanya. Maka Nabi berkata, ‘Bawa dia dan rajamlah’,” 
(HR Bukhari [V/68]). 
Kandungan Bab:
  1. Apabila orang gila laki-laki ataupun perempuan terkena hukum hudud maka hukuman tidak dijalankan atasnya. Karena pena telah diangkat atasnya hingga ia sembuh. Oleh karena itulah Rasulullah bertanya kepada laki-laki tersebut, “Apakah engkau gila?”
  2. Di antara para sahabat yang memutuskan hukum ini ialah Ali bin Abi Thalib dan disetujui oleh Umar .
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas , ia berkata, “Dihadapkan kepada Umar seorang wanita gila yang berzina. Beliau bermusyawarah dengan beberapa orang untuk memutuskan hukumnya. Umar memerintahkan agar wanita itu dirajam. Lalu wanita itu dibawa dan kebetulan melintas di hadapan ALi bin Abi Thalib. Beliau bertanya, ‘Ada apa dengan perempuan ini?’ Mereka menjawab, ‘Ia adalah perempuan gila dari bani Fulan telah berzina. Umar memerintahkan agar ia dirajam.’ Ali berkata, ‘Lepaskanlah ia.’ Kemudian Ali mendatangi Umar dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau ketahui bahwa pena telah diangkat atas tiga macam orang: atas orang gila hingga ia sembuh, atas orang tidur hingga bangun, atas anak kecil hingga ia baligh.’ Umar menjawab, ‘Tentu saja.’ Ali berkata, ‘Kalau begitu bebaskan ia.’ Umar berkata, ‘Ya, bebaskan ia.’ Maka Ali pun bertakbir’.”Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali berkata, “Tidakkah engkau ingat bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Diangkat pena atas tiga orang. orang gila yang tidak beres akalnya hingga ia sembuh, orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh’.”Umar menjawab, “Benar!” Ali berkata, “Kalau begitu bebaskanlah!” (Shahih, HR Abu Dawud [4399]). 
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/480-481.

Related Posts:

Larangan Menjatuhkan Hukuman Lebih dari 10 Kali Selain Hukum Hudud

Diriwayatkan dari Abu Burdah , ia berkata, Rasulullah bersabda, 
Janganlah mencambuk lebih dari sepuluh kali cambukan kecuali dalam hukum hudud,” 
(HR Bukhari [6848] dan Muslim [1708]).
Kandungan Bab:
  1. Para ulama berselisih pendapat tentang maksud hukum hudud dalam hadits di atas. Apakah maksudnya hukuman yang telah ditentukan kadarnya oleh syari’at, seperti hukuman zina, mencuri, minum khamr, menuduh orang lain berzina tanpa bukti, memerangi Allah dan rasul-Nya, membunuh, qishash pribadi atau kelompok, dihukum mati karena murtad ataukah maknanya umum, meliputi semua perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:”Itulah larangan Allah, maka janganlah engkau mendekatinya…,” (Al-Baqarah: 187). Dalam firman-Nya, “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim,” (Al-Baqarah: 229). Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarh Sunnah (X/343-344), “Hukum Allah (hudud) ada dua macam: Pertama, hukum yang tidak boleh didekati, seperti zina dan sejenisnya. Allah berfirman, “Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya…,” (Al-Baqarah: 187). Kedua: Hukum yang tidak boleh dilanggar, seperti menikah lebih dari empat dan sejenisnya. Allah berfirman, “Itulah hukum-hukum Allah maka janganlah kamu melanggarnya…,” (Al-Baqarah: 229). ku katakan, hudud yang dikatakan dalam hadits maksudnya adalah hukum hudud yang telah ditetapkan kadarnya, bedasarkan beberapa alasan berikut ini: a). Hukum hudud yang telah ditetapkan oleh syari’at semuanya lebih dari sepuluh kali cambukan, maka pengecualian dalam hadits di atas adalah benar. (b) Kalaulah kita bolehkan hukum cambuk lebih dari sepuluh kali dalam semua bentuk pelanggaran hak Allah maka tidak ada satu pun yang boleh dikhususkan larangannya. Tentunya secara tidak langsung kita telah membatalkan kandungan hadits.
  2. Sebagian ulama membedakan hukum ta’zir antara dosa-dosa besar. Mereka membolehkan hukum cambuk lebih dari sepuluh kali, dan mereka menyebutkan hukum hudud. Mereka berdalil dengan ayat di atas. Mereka memasukkan dosa-dosa kecil dalam pengecualian tersebut. Menurut mereka itulah yang dimaksud dengan larangan menambah lebih dari sepuluh kali cambukan yang disebutkan dalam hadits (yaitu untuk dosa kecil).Saya katakan, ini merupakan pemisahan tanpa dalil dan penetapan hukum tanpa disertai nash. Karena yang dimaksud hukum ta’zir adalah pelajaran dan teguran. Pelanggaran yang dapat menyebabkan jatuhnya hukum hudud. Maka hukumnya juga tidak boleh sama dengan hukum hudud. Oleh karena itu syari’at menentukan batas hukuman tertinggi dalam hukum hudud dan tidak menetapkan batas hukum terendah. Dengan demikian hukuman berkisar di antara batasan tersebut menurut kadar kejahatan yang dilakukan, wallahu a’lam.
  3. Dengan demikian yang dimaksud bahwa hukum ta’zir berupa cambukan tidak boleh melebihi sepuluh kali cambukan. Hukuman itu sudah cukup mejadi teguran atas pelakunya. Oleh karena itu al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Baari (XII/179), “Hal itu mungkin dilakukan dengan sepuluh kali cambukan, bergantung kepada sifat dan cara mencambuk atau menderanya, antara cambukan yang kuat dan cambukan yang ringan.4. Hadits di atas tidaklah menafikan hukuman ta’zir lainnya yang juga bisa menjadi peringatan atas pelakunya, seperti membuat lapar, denda, penahanan seperti penjara, diasingkan, atau celaan dan cercaan. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam Fathul Baari (XII/179), “Benar, dapat diambil faidah dari hadits tersebut bolehnya menjatuhkan hukum ta’zir seperti membuat lapar, atau hukuman maknawiyah sejenitsnya.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/481-483.

Related Posts:

Larangan Menghukum Seseorang Karena Kejahatan Orang Lain

Firman Allah Ta'ala, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dan kejahatan yang dikerjakannya…," (Al-Baqarah: 286). 

Allah Ta'ala juga berfirman, "Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…" (Al-An'aam: 164).   

Diriwayatkan dari Usamah bin Syarik , ia berkata, "Rasulullah  bersabda, 'Kesalahan seseorang tidak akan dibebankan kepada orang lain," (Hasan, HR Ibnu Majah [2672]).   

Diriwayatkan dari Thariq al-Muharibi , ia berkata, "Aku pernah  melihat Rasulullah mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua tangannya seraya bersabda, 'ketahuilah bahwa seorang itu tidak akan dihukum akibat kejahatan yang dilakukan anaknya. Ketahuilah bahwa seorang ibu tidak akan dihukum akibat kejahatan yang dilakukan anaknya'," (Shahih, HR an-Nasa'i [VIII/55]).

  Diriwayatkan dari Abu Ramtsah, ia berkata, "Aku dan ayahku pergi menghadap Nabi saw, lalu beliau bertanya kepada ayahku, 'Apakah dia anakmu?' Ayahku menjawab, 'Ya, demi Rabb Ka'bah.' Beliau bertanya lagi, 'Apa benar?' Ia menjawab, 'Untuk itu, aku berani bersumpah.' Ramtsah berkata, 'Lalu Rasulullah saw. tersenyum karena aku mirip dengan ayahku dan karena sumpah ayahku untukku. Kemudian beliau bersabda, "Sesungguhnya kamu tidak dihukum karena perbuatan yang ia lakukan dan ia tidak akan dihukum atas perbuatan yang kamu lakukan.' Lantas Rasulullah  membaca ayat, 'Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,' (Al-An'aam: 164)," (Shahih, HR Abu Dawud [4207-4495]).

  Ada beberapa hadits lain yang termasuk dalam bab ini yaitu dari Amr bin  al-Ahwash, Tsa'labah bin Zahdam dan Laqith bin Amir.   

Kandungan Bab:  

  1. Larangan menghukum seseorang karena kesalahan yang dilakukan orang lain. Al-Manawi berkata dalam kitabnya Faidhul Qadir (VI/391), "Larangan yang dicantumkan dalam bentuk nafi menunjukkan sebuah penegasan. Yakni kejahatan seorang ibu tidak akan dibebankan kepada anaknya padahal keduanya memiliki kerikatan yang sangat dekat dan sangat  mirip. Setiap orang tua dan anak akan duhukum sesuai kejahatan yang dilakukannya sendiri dan tidak akan dihukum akibat kesalahan orang lain. Makna yang sangat mengena ini diambil dari sabda beliau, 'Laa Tajni.' Sebab apabila seorang anak dihukum akibat kejahatan orang tuanya, sama artinya ia telah melakukan kejahatan itu sendiri. Oleh karena itu, hukuman tersebut diputus dari pangkalnya dan menetapkan bahwa pembebanan kejahatan salah seorang kepada orang laian adalah suatu hal yang tidak ada dan seolah-olah tidak pernah terjadi. Ini merupakan ungkapan yang sangat mengena, karena apabila sebua sebab dinafikan dari pangkalnya berarti penafian musabab tersebut memiliki arti yang lebih tegas dan lebih  mengena."
  2. Celaan terhadap tindakan yang biasa dilakukan pada zaman jahiliyah yakni merelakan diri dihukum atas kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Dimana mereka menghukum kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku lantas hukumannya dibebankan kepada karib kerabat terdekat. Tindakan seperti ini masih diyakini orang-orang yang tinggal dari daerah-daerah pedalaman, pegunungan, dan pedusunan yang enggan melepaskan diri dari kebiasaan keluarga kabila yang rusak dan lingkungan  yang keras. As-Sindi dalam Haasyiah 'Alan Nasa'i (VIII/53) berkata, "Ini merupakan berita tentang bathilnya perkara jahiliyyah."
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/483-489. 

Related Posts: