Larangan Menuntut Seseorang Tanpa Alasan yang Benar

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas , bahwasanya Nabi  bersabda,
"Ada tiga orang yang paling dibenci Allah, orang yang berbuat dosa di tanah suci, seorang Muslim yang melakukan tradisi jahiliyyah dan seorang yang menuntut darah seseorang tanpa alasan yang benar."  
Kandungan Bab:
  1. Celaan menuntut seorang muslim untuk dibunuh tanpa ada alasan syar'i.
  2. Penghormatan terhadap darah, harta dan kehormatan seorang muslim.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/489-490. 

Related Posts:

Larangan Melakukan Bunuh Diri

Diriwayatkan dari Tsabit bin Dhahak , dari Nabi . beliau bersabda, 

"Barangsiapa yang sengaja bersumpah palsu dengan agama selain Islam maka ia seperti yang ia ucapkan dan barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sebatang besi maka ia akan disiksa dengan besi tersebut di dalam neraka jahannam," 

(HR Bukhari [1363] dan Muslim [110]).   

Diriwayatkan dari Jundub, dari Nabi , beliau bersabda, 

"Dahulu ada seorang laki-laki yang mengalami luka parah sehingga ia membunuh dirinya sendiri. Lalu Allah berfirman, 'Hamba-Ku telah mendahului-Ku maka Aku haramkan baginya surga',"

(HR Bukhari [1364] dan Muslim [113]).

  Diriwayatkan dari Abu Hurairah , dari Nabi , beliau bersabda, 

"Barangsiapa menjatuhkan dirinya dari atas gunung hingga tewas maka kelak ia akan menjatuhkan dirinya di neraka jahannam dan mereka kekal di dalamnya selama-selamanya. Barangsiapa meneguk racun hingga tewas maka racun yang di tangannya itu akan ia teguk di dalam neraka jahannam dan ia kekal di dalamnya selama-selamanya. Barangsiapa membunuh dirinya dengan sepotong besi maka besi yang ada di tangannya akan selalu menusuk perutnya di dalam neraka jahannam dan ia kekal di dalamnya selama-selamanya,"

(HR Bukhari [5778] dan Muslim [109]).

Kandungan Bab:
  1. Pembunuhan merupakan perbuatan yang sangat diharamkan, baik membunuh diri sendiri maupun membunuh orang lain.
  2. Hadits-hadits ini bukanlah dalil bagi orang yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar akan kekal selamanya di dalam neraka. Telah tercantum di dalam hadits Rasulullah apa yang membatalkan pendapat mereka yang keliru tersebut, khususnya yang berkaitan dengan masalah bab ini. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah , "Bahwasanya ath-Thufail bin Amr ad-Dusi datang menghadap Nabi dan berkata, 'Ya Rasululah, apakah engkau memerlukan sebuah benteng dan kewibawaan? Namun Nabi tidak menerimanya mengingat hal itu dipersiapkan Allah untuk orang-orang Anshar. Tatkala Nabi hijrah ke Madinah maka ath-Thufail dan seorang laki-laki dari kaumnya ikut pula berhijrah. Tetapi mereka tidak suka hijrah ke Madinah dikarenakan penyakit yang menimpa dada dia, dan akhirnya laki-laki itu jatuh sakit. Karena tak sabar menahan derita sakit ia pun mengambil sebilah pisau lalu memtong jemari tangannya. Seketika itu memancarlah darah dari kedua tangannya hingga ia pun tewas. Kemudian ath-Thufail bermimpi melihatnaya dalam keadaan yang baik hanya kedua tangannya tertutup kain. Ath-Thufail bertanya, 'Bagaimana perlakukan Rabmu terhadap dirimu?' Ia menjawab, 'Ia telah mengampuni doasaku karena aku pernah hijrah kepada Nabi-Nya saw. Ath-Thufail kembali berkata, 'Tetapi mengapa aku melihat kedua tanganmu tertutup kain?' Ia menjawab, 'Dikatakan kepadaku, 'Kami tidak akan memperbaiki sesuatu yang telah rusak.' Lalu ath-Thufail menceritakan mimpinya itu kepada Rasulullah dan beliau bersabda, 'Ya Allah, ampunilah kedua tangannya'," (HR Muslim ]116]). An-Nawawi rahimahullah berkata dalamSyarah Shahih Muslim (II/131), "Di dalam hadits ini terdapat hujjah untuk sebuh kaidah agung yang diyakini ahli sunnah yaitu, seorang  yang membunuh dirinya sendiri atau  melakukan perbuatan maksiat lainnya, lalu meninggal dunia sebelum sempat bertaubat, tidak disebut kafir dan tidak boleh memastikan bahwa ia masuk neraka. Bahkan ia berada di bawah kehendak Allah. Hadits ini merupakan penjelasan terhadap hadits-hadits sebelumnya yang memberi kesan bahwa pelaku bunuh diri dan dosa besar lainnya kekal di dalam neraka. Hadits ini juga menunjukkan hukuman yang ditimpakan kepada pelaku maksiat. Adapun laki-laki ini dihukum pada tangannya dan ini merupakan bantahan terhadap orang-orang murji'ah yang berpendapat bahwa pelaku maksiat tidak disiksa. Allahu a'lam."
  3. Sabda beliau, "Kekal selama-lamanya…" adalah bagi mereka yang menghalalkan perbuatan tersebut. Sebab dengan penghalalan tersebut menyebabkan ia kafir dan orang kafir akan kekal selamanya di dalam neraka. Wal'iyaadzubillah.  Hal ini bila riwayat tersebut shahih. Jika tidak berarti telah keliru. At-Tirmidzi telah melemahkannya, ia berkata dalam Sunnannya (IV/387), 'Muhammad bin 'Ijlan telah meriwayatkan dari Sa'id al-Maqbari dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda, "Barangsiapa membunuh dirinya dengan racun maka ia akan disiksa di neraka jahannam'." Pada hadits di atas tidak ada tercantum kalimat kekal selama-lamanya. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Abi az-Zinaad dari al-Araaj dari Abu Hurairah dari Nabi hadits ini lebih shahih. Sebab riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bahwa seorang ahli tauhid akan disiksa di dalam neraka lalu keluar dan tidak disebutkan akan kekal selama-lamanya.
  4. Bagi seorang yang mati bunuh diri maka para ulama dan orang shalih tidak mengimami kaum muslimin dalam mengshalatkan dan juga tidak ikut menshalatkannya. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samurah , ia berkata, "Didatangkan seorang yang membunuh dirinya dengan sebilah pisau ke hadapan Nabi namun beliau tidak menshalatkannya," (HR Muslim [978]).
  Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/490-492.

====================================

Video Hukum Bunuh Diri 1 : https://youtu.be/GISIqXBTSSk?t=13

Video Hukum Bunuh Diri 2 : https://youtu.be/Nd_2y28RPCE?t=3

Related Posts:

Larangan Menghalang-halangi Wali Korban Menuntut Pelaku Pembunuhan yang Dilakukan dengan Sengaja

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas dari Nabi beliau bersabda, 

"Barangsiapa terbunuh dan tidak diketahui siapa pembunuhnya, atau tewas terkena lemparan batu, cambuk, atau tongkat maka tebusannya seperti tebusan pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja. Barangsiapa dibunuh dengan sengaja maka pelakunya harus diqishash. Barangsiapa menghalang-halangi hukuman qishash tersebut maka ia akan dilaknat oleh Allah, malaikat, dan seluruh ummat manusia dan Allah tidak akan menerima taubat dan tebusan darinya," 

(HR Abu Dawud [4539]).   

Kandungan Bab:

  1. Pelaku pembunuhan dengan sengaja harus dihukum qishash yang dilaksanakan oleh pemerintah dan wali korban.  Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan," (Al-Israa: 33).
  2. Barangsiapa menghalang-halangi pelaksanaan hukum qishash atas pelaku pembunuhan dengan menghalang-halangi wali korban dan tuntutannya, bukan mendorong pelakunya untuk meminta maaf kepada keluarga korban, maka ia berhak mendapat laknat dari Allah, malaikat, dan seluruh ummat manusia.
  Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/492-494.  

Related Posts:

Larangan Menghukum Mati Seorang Ayah Karena Membunuh Anaknya

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas , ia berkata, Rasulullah  bersabda, 

"Hukuman tidak boleh dilaksanakan di dalam masjid dan seorang ayah tidak dihukum mati karena membunuh anaknya."   

Diriwayatkan dari  Umar bin Khattab , ia berkata, "Aku pernah  mendengar Rasulullah  bersabda, 'Seorang ayah tidak dihukum mati karena membunuh anaknya'," 

(Shahih, HR Abu Dawud [1400]).

Dalam bab ini terdapat beberapa hadits lain yaitu dari Ibnu Abbas dan Maqtal bin Yasar .

Kandungan Bab:


Seorang ayah tidak dihukum mati karena membunuh anaknya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.   

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/494-494.    

Related Posts:

Larangan Menukar Agama

Firman Allah Ta'ala, 

"Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, 'Berperang pada bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi manusia dari jalan Allah, kafir kepada Allah, menghalangi masuk masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu lah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itu lah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya'," 

(Al-Baqarah: 217).   

Firman Allah Ta'ala, 

"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi. Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya Ialah: bahwasanya la'nat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) la'nat Para Malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan Mengadakan perbaikan. karena Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka Itulah orang-orang yang sesat. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun Dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. bagi mereka Itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong," 

(Ali-Imran: 85-91).

Firman Allah Ta'ala, 

"Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui," 

(Al-Maidah: 54).

Diriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata, "Beberapa orang zindiq dihadapkan kepada Ali , lantas beliau menjatuhkan hukuman bakar. Berita tersebut sampai kepada Ibnu Abbas , lalu ia berkomentar, 'Jika seandainya orang-orang tersebut dihadapkan kepadaku tentu aku tidak akan membakar mereka, sebab Rasulullah saw. pernah  melarang perbuatan tersebut dalam sabdanya, 'Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah.' Tetapi aku akan membunuh mereka karena Rasulullah saw. pernah bersabda, "Barangsiapa menukar agamanya maka bunuhlah mereka',

(HR Bukhari [6922]).   

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari , ia berkata, "Aku dan dua orang laki-laki dari kaum al-Asy'ari pernah datang menghadap Rasulullah yang satu di sebalah kananku dan yang satu lagi di sebelah kiriku sementara waktu itu Rasulllah saw. sedang bersiwak. Maka kedua orang tersebut meminta sesuatu. Lalu beliau bersabda, 'Wahai Abu Musa atau Abdullah bin Qais.' Aku berkata, 'Demi Dzat yagn telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sungguh mereka tidak meberitahukan kepadaku apa keinginan mereka dan sungguh aku tidak menyangka kalau mereka meminta jabatan.' Seakan-akan aku  melihat siwak siwak beliau yang masih berada di bibir beliau. Lalu beliau bersabda, 'Sesungguhnya dalam perkara ini kami tidak mempekerjakan orang-orang yang memintanya. Tetapi engkau, wahai Abu Musa atau Abu Qais pergilah ke Yaman.' Kemudian setelah itu datang pula Mu'adz bin Jabal ke Yaman. Ketika sampai ia diberi sebuah bantal dan Abu Musa berkata, 'Silahkan turun.' Pada saat itu ada seseorang yang sedang terikat. Mu'adz bin Jabal berkata, 'Kenapa dia?' Abu Musa menjawab, 'Dia tadinya seorang Yahudi lalu  memeluk agama Islam dan kemudian kembali ke agama Yahudi. Silahkan duduk.' Mu'adz bin Jabal berkata, 'Demi Allah aku tidak akan duduk hingga orang ini dihukum dengan hukum Allah dan Rasul-Nya (sebanyak tiga kali).' Lalu diperintahkan agar orang yang terikat tersebut dihukum mati. Lalu keduanya bermudzakarah tentang shalat malam, salah seorang di antara keduanya berkata, 'Adapun aku, aku shalat dan juga tidur. Aku mengharapkan pada tidurku seperti apa yang aku harapkan ketika aku shalat'," 

(HR Bukhari [6923]).   

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud , ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Tidak halal darah seorang muslim kecuali disebabkan oleh salah satu dari tiga perkara: wanita bersuami yang berzina, seorang yang membunuh orang lain, atau murtad keluar dari jama'ah'," 

(HR Bukhari [6878] dan Muslim [1676]).

Kandungan Bab:

  1. Barangsiapa yang masuk Islam atau ia seorang muslim lalu ia menukar agamanya berarti darahnya sudah tidak berarti dan ia halal dibunuh berdasarkan hadits-hadits yang tercantum dalam bab ini. Ini merupakan pendapat yang tidak ada perselisihan di kalangan kaum muslimin.
  2. Hukuman bagi wanita murtad sama seperti hukuman laki-laki yang murtad. Sebab tidak ada dalil shahih yang memberikan pengecualian bagi kaum wanita. Bahkan hadits tersebut adalah hadits dhaif dan mungkar. Seperti hadits, "Jika seorang wanita murtad maka ia tidak dihukum mati," (lihat Sunan ad-Daraquthni [III/118).
  3. Para ulama berselisih pendapat mengenai  perintah untuk orang murtad agar bertaubat. Adapun yang sesuai dengan kaidah syar'i dan maksud diperintahkannya untuk bertaubat jika mereka murtad untuk pertama kali. Namun apabila hal itu terulang kembali, tentunya seorang mukmin tidak akan tertipu dan masuk ke dalam lubang dua kali. Maka orang tersebut langsung dihukum mati dan tidak diperintahkan untuk bertaubat kembali. WaAllahu a'lam.
Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah berkata, "Sabda beliau, 'Murtad keluar dari jama'ah.'Merupakan dalil jika ia bertaubat dan kembali memeluk agama Islam maka ia tidak dihukum bunuh. Sebab tidak dikatakan murtad dan meninggalkan jama'ah jika ia kembali masuk Islam."

  Ada pendapat yang mengatakan hadits ini memberikan pengecualian, meskipun orang tersebut termasuk orang yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat dimana darahnya telah dipelihara oleh Islam. Ini menunjukkan bahwa sipelaku tetapi dibunuh walaupun ia mengikrarkan syahadatain. Seperti hukuman fonis mati untuk orang yang sudah menikah karena zina yang dilakukan dan seorang yang membunuh orang lain.

  Ini juga menunjukkan bahwa seorang murtad tidak akan diterima taubatnya sebagaimana diriwayatkan dari al-Hasan atau hadits tersebut diartikan bagi mereka yang terlahir dalam agama Islam lalu murtad. Yang diterima adalah taubat seorang yang tadinya kafir kemudian masuk Islam lantas kembali kafir. Demikian menurut pendapat sebagian ulama, seperti Laits bin Sa'ad, satu riwayat dari Ahmad dan Ishaq.

  Ada yang berpendapat bahwa dikecualikannya ia dari kaum muslimin ditinjau dari agama yang ia anut sebelum keluar dari jama'ah sebagaimana yang telah disinggung. Berbeda dengan hukuman janda yang berzina dan membunuh orang. Sebab menghukum mati mereka merupakan hukuman atas tindakan kriminal yang telah mereka lakukan dan tidak 
mungkin untuk diganti.

  Adapun murtad, hukuman mati untuk orang murtad dijatuhkan menurut kondisi orang tersebut pada saat dijatuhkan hukuman tersebut, yaitu keluar dari agama Islam dan jama'ah. Namun jika ia kembali memeluk agama Islam dan bergabung dengan jama'ah maka vonis hukuman dicabut. Dengan demikian darahnya kembali haram. Allahu a'lam.

  Hadits Abu Musa al-Asy'ari menjelaskan dengan gamblang bahwa apabila ahli kitab masuk Islam lalu ia murtad kembali ke agamanya semula maka ia harus dihukum mati. Dan di dalam hadits ini juga mencantumkan bantahan terhadap para pendusta yang mengatakan bahwa ahli kitab boleh masuk ke dalam agama Islam dan kemudian kembali ke agamanya semula. Bahkan mereka berdusta terhadap Allah dengan menyatakan boleh bagi seorang muslim masuk ke dalam agama ahli kitab. Na'udzu billahi min dzalik.   

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/496-502.  

Video Hukum Bagi Orang Yang Murtad : https://youtu.be/T-oKGe0qNUc?t=20

Related Posts:

Larangan Membunuh Orang yang Masuk Islam, Apapun Asal Agamanya

Diriwayatkan dari Miqdad bin al-Aswad , ia berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah , 'Bagaimana pendapat Anda jika aku bertemu seorang laki-laki kafir lalu kami pun berkelahi (adu pedang) hingga ia berhasil menebas (hingga putus) sebelah tanganku dengan pedangnya. Namun kemudian ia terdesak di sebuah pohon dan mengatakan, 'Aku masuk Islam.' Apakah aku boleh  membunuhnya setelah ia mengatakan perkataan itu ya Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Jangan kamu bunuh!' Aku katakan, 'Tapi ya Rasulullah, ia mengucapkan perkataan itu setelah ia menebas sebelah tanganku.' Beliau kembali menjawab, 'Jangan kamu bunuh! Jika kamu lakukan berarti posisinya berada di posisimu sebelum kamu membunuhnya dan posisimu berada pada posisinya sebelum ia ucapka pernyataan itu',

(HR Bukhari [6865] dan Muslim [95]). 

Diriwayatkan dari Usambah bin Zaid , ia berkata, "Rasulullah pernah  mengirim kami kepada salah satu suku bani Juhainah. Maka kami menyerang kaum tersebut di pagi hari. Aku dan seorang Anshar mengejar salah seorang dari mereka. Ketika ia tidak dapat berkutik lagi ia mengucapkan 'Laa Ilaaha Illallaah' (mendengar kalimat tersebut) laki-laki anshar itu menghentikan serangannya namun aku langsung menikamnya dengan tombakku hingga tewas. Ketika kami kembali ke Madinah, kisah tersebut disampaikan kepada Rasulullah saw., lalu beliau bersabda, 'Ya Usamah apakah kamu bunuh dia setelah mengucapkan 'Laa Ilaaha Illallaah'? Aku menjawab, 'Ya, Rasulllah ia mengucapkannya karena takut dibunuh.' Beliau kembali bersabda, 'Apakah kamu bunuh dia setelah mengucapkan 'Laa Ilaaha Illallaah'?Beliau terus mengulang-ulang kalimat tersebut hingga aku berkhayal kalau seandainya pada saat itu aku belum masuk Islam'." 

(HR Bukhari [4269] dan Muslim [96]).

  Kandungan Bab:

  1. Wajib menilai seseorang menurut zhahirnya dan dilarang meniliti apa yang ada di dalam hatinya. Ini merupakan tindakan preventif dari syari'at untuk menutup semua jalur orang-orang yang suka membalas dendam, menyerang dan membunuh dengan alasan orang yang dibunuh secara batin tidak meyakini Islam.
  2. Apabila ada sesuatu yang menunjukkan masuknya seseorang ke dalam agama Islam, baik dari ucapan maupun perbuatan maka haram membunuhnya.
  3. Barangsiapa melakukan pembunuhan tersebut sementara ia mengetahui keharamannya maka ia wajib dijatuhi  hukuman mati dan apabila ia tidak mengetahuinya maka ia wajib membayar tebusan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw. atas beberapa sahabat yang melakukannya dengan dugaan bahwa mereka mengucapkan kalimat tersebut karena takut dibunuh, sehingga Rasulullah saw. memberi tebusan atas pembunuhan tersebut.
  4. Oleh karena itu Rasulullah tidak menghukum Usamah bin Zaid dengan hukuman mati, sebab pada waktu itu ia memiliki ta'wil lain dan terdapat beberapa syubhat pada dirinya, sementara hukuman harus ditangguhkan pelaksanaannya apabila masih terdapat syubhat.
  5. Hadits-hadits yang tercantum dalam bab ini bukanlah hujjah bagi kaum khawarij dan generasi penerusnya dari kalangan jama'ah takfir dan ghuluw sebagaimana telah aku jelaskan dalam kitabku "Bahjatun  Naazhirin Syarah Riyadhus Shaalihin" (I/426) yang tidak perlu diulang dan diperpanjang.
  Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/502-504

Related Posts:

Larangan Melakukan Nikah Paksa

Diriwayatkan dari Khansa’ binti Khaddam al-Anshariyyah, “Bahwa ayahnya telah menikahkannya dengan paksa sementara ia adalah seorang janda. Lalu ia mendatangi Rasulullah lalu beliau membatalkan pernikahan itu,” 
(HR Bukhari [5138]).  
Kandungan Bab:
  1. Nikah paksa adalah pernikahan yang tertolak dan memaksa wanita untuk menikah tanpa meminta kerelaannya terlebih dahulu adalah perbuatan yang diharamkan.
  2. Wajib meminta izin kepada wanita tersebut terlebih dahulu baikah wanita tersebut gadis atau pun sudah janda. Pembahasan ini telah berlalu di dalam kitab Nikah, bab Tidak boleh menikahkan seorang gaid atau janda kecuali dengan kerelaannya.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/509-509

Related Posts:

Larangan Menghukum Mati Seorang Muslim Karena Membunuh Orang Kafir

Diriwayatkan dari Abu Juhaifah, ia berkata, "Aku pernah bertanya kepada Ali , 'Apakah kalian memiliki sesuatu selain dari al-Qur'an?' Ia menjawab, 'Demi Dzat yang menumbuhkan bibit dan menciptakan ruh, kami tidak memiliki apa-apa kecuali pemahaman yang dianugerahkan Allah kepada seseorang tentang al-Qur'an dan apa yang terdapat dalam lembaran-lembaran ini.' Aku bertanya lagi, 'Apa yang tercantum dalam lembaran-lembaran ini?' Ia menjawab, 'Tebusan, hukum pembesan tawanan, dan seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir'," 
(HR Bukhari [6915]).   
Diriwayatkan dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Kaum muslimin setara dalam jiwa mereka. Mereka sama-sama menjaga jaminan yang diberikan oleh  muslim lainnya meskipun yang memberikan jaminan adalah orang yang paling rendah dari mereka atau kedudukannya jauh dari mereka. Kaum muslimin harus menjadi pelindung bagi muslim lainnya terhadap musuh-musuh mereka. Kaum muslimin yang kuat harus membela kaum muslimin yang lemah dan yang ikut perang membantu yang tidak ikut perang. Seorang mukmin tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir dan tidak boleh juga membunuh orang kafir yang masih berada dalam perjanjian selama masa perjanjian belum habis'," 
(Shahih lighairihi, HR Abu Dawud [2751] dan Ibnu Majah [2659]).   
Ada beberapa hadits lain yang termasuk dalam bab ini, yaitu dari Ibnu Abbas, Aisyah, Ma'qil bin Yasar .   Kandungan Bab:  
  1. Seorang mukmin tidak dibunuh karena membunuh orang kafir dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
  2. Al-Baghawi berkat dalam kitabnya Syarhus Sunnah (X/174-175), "Hadits ini merupakan dalil bahwasanya seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir, baik kafir dzimmi yang teirkat dengan perjanjian seumur hidup atau kafir yang meminta jaminan keamanan dalam jangka waktu tertentu. Ini pendapat yang dipegang oleh sejumlah sahabat, tabi'in, dan ulama setelah mereka. Yaitu pendapat umar, Utsman, Ali, Zaid bin Tsabit , Atha', Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Malik, Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Syibrimah, al-Auza'i, asy-Syafi'i, Ahmad dan Ishaq.
  3. Ashaabur Ra'yi memiliki pendapat yang berseberangan dengan pendapat ini dan mereka berdalil dengan hadits-hadits dan atsar-atsar yang sanadnya tidak shahih sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari (xII/262) dan al-Baghawi dalam kitabnya Syarhus Sunnah (190/175-176) dan asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar (VII/55).
  4. Beberapa kelompok jama'ah berpendapat dengan pendapat yang berseberangan dengan hadits ini dan saya telah membantah pendapat tersebut di dalam kitabku "Al-Jama'atul Islamiyyah fi Dhau'il Qur'an was Sunnah bi Fahmi Salafil Ummah" (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Jama'ah-Jama'ah Islam yang Menyimpang Ditimbang Menurut al-Qur'an dan as-Sunnah".
  Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/494-496.    

Related Posts:

Larangan Memaksa Seseorang Agar Berzina

Firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntunga duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu,” 

(An-Nuur’: 33).

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, “Abdullah bin Ubay bin Salul pernah berkata kepada hamba perempuannya, ‘Pergilah melacur.’ Maka turunlah firman Allah Ta’ala, ‘Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntunga duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu,’ (An-Nuur’: 33),” 

(HR Muslim [3029]).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul memiliki dua orang hamba perempuan yang satu bernama Musaikah dan yang satu lagi bernama Umaimah. Saat itu Abdulah bin Ubay bin Salul memaksa mereka untuk melakukan pelacuran. Lalu mereka berdua mengadukan hal itu kepada Nabi , maka turunlah firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntunga duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu,”(An-Nuur’: 33).

Kandungan Bab:
  1. Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim (III/299), “Pada saat itu jika salah seorang penduduk jahiliyyah memiliki seorang hamba perempuan, ia mengirimkan hamba perempuan tersebut untuk melacur dan menjadikan hamba tersebut sebagai pendapatan setiap waktu. Setelah datang Islam, Allah melarang orang-orang mukmin melakukannya. Sebab turunnya ayat ini, sebagaimana disebutkan oleh para ahli tafsir salaf maupun khalaf yaitu karena perbutan Abdulah bin Ubay bin Salul. Ia memiliki beberapa hamba perempuan dan memaksa mereka agar melacur dengan tujuan untuk mendapatkan uang, anak, dan kepemimpinan.
  2. Al-Qurthubi berkata dalam kitabnya al-Jaami’ lil Ahkaamil Qur’aan (XII/254), “Firman Allah Ta’ala inna aradnaa tahashunnan yakni dhamirnya kepada kepada hamba perempuan. Yakni apabila para hamba perempuan tersebut ingin menjaga kesucian diri. Maka di sini dapat digambarkan bahwa tuan mereka melakukan paksaan dan di sini juga memungkinkan untuk melarang si pemilik hamba untuk melakukan paksaan. Namun apabila si hamba perempuan tidak ingin menjaga kesucian diri maka tidak mungkin dikatakan kepada si pemilik, jangan kamu paksa. Sebab kta paksa tidak dikatakan kepada hamba yang memang ingin melakukan pelacuran. Oleh karena itu, perintah ini ditujukan kepada si pemilik dan hamba perempuannya.” Ini juga makna diisyaratkan oleh Ibnul Arabi, ia berkata, “Allah menyebutkan wanita-wanita yang ingin menjaga kesucian diri. Sebab pada wanita seperti ini dapat digambarkan adanya pemaksaan. Namun apabila wanita itu sendiri suka melakukan pelacuran tentunya tidak disebut pemaksaan. Inilah kesimpula yang dipakai mayoritas ahli tafsir.” Sebagian mereka ada yang berpendapat firman Allah in aradna tahashunnan ditujukan kepada para hamba wanita. Sebagian lagi berpendapat bahwa syarat yang tercantum dalam firman Allah itu tidak terpakai. Dan pendapat lemah lainnya. Waallahu a’lam.
  3. Allah telah mengharamkan berzina dan mengkatagorikan hasil pelacuran sebagai penghasilan yang kotor, baik dilakukan dengan paksa maupuan dengan kerelaan. Hanya saja bagi yang terpaksa tidak mendapat dosa dan tidak diberi sanksi hukum. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntunga duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu,” (An-Nuur’: 33). Seorang yang dipaksa tidak diberi sanksi hukum. Hal ini berdasarkan beberapa hadits antara lain hadits Shafiyah binti Abu Ubaid, “Seorang hamba laki-laki milik al-Imaarah memperkosa seorang hamba perempuan yang diperoleh dari bagian khumus. Lalu Umar menjatuhkan hukuman dera dan mengasingkannya. Namun beliau tidak menghukum hamba wanita itu karena ia dipaksa,” (HR Bukhari [6949]).
  4. Al-Hafidz ibnu Hajar berkata dalam kitabnya Fathul Baari (XII/322), “Sebagai penyempurna: tidak ada disebutkan hukum terpaksa melakukan perzinaan bagi laki-laki. Mayoritas ulama berpendapat bahwa laki-laki pun bila dipaksa tidak diberi sangsi hukuman. Malik dan sekelompok ulama berpendapat, ‘Laki-laki itu harus diberi hukuman karena tidak mungkin kemaluannya berereksi kecuali karena adanya rasa nikmat, baik ia dipaksa oleh penguasa atau yang lainnya’.” Diriwayatkan dari Abu Hanifah: Diberi sangsi hukuman bila yang memaksa bukan penguasa. Pendapat ini ditetang dua orang muridnya. Madzhab Maliki berpendapat berereksinya kemaluan merupakan hasil dari perasaan tentran dan ketenangan jiwa. Berbeda halnya dengan orang terpaksa, karena ia sedang diliputi rasa takut. Bagi yang berpendapat tidak diberi sangsi hukum, menjawab alasan ini, bahwa hubungan juga bisa terjadi dengan tanpa adanya ereksi. Allahu a’lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/509-512

Related Posts:

Larangan Berdusta Tentang Mimpi

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , dari Nabi beliau bersabda, 


“Barangsiapa yang mengaku telah bermimpi sesuatu padahal sebenarnya tidak maka ia akan dipaksa untuk duduk di antara dua helai rambut dan ia pasti tidak akan mampu melakukannya,”


(HR Bukhori [7042]).   

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar , ia berkata, Nabi  bersabda, 

“Kedustaan yang paling besar ialah seorang laki-laki yang mengaku telah bermimpi melihat sesuatu padahal ia tidak melihatnya,”

(HR Bukhori [7043]).

Ada beberapa hadits lain yang termasuk dalam bab ini, yaitu dari Ali, Abu Hurairah, Abu Syuraih dan Watsilah.

Kandungan Bab:
  1. Haram berdusta tentang mimpi dan perbuatan itu termasuk dosa besar yang terbesar, karena ia telah berdusta terhadap Allah. Adapun dusta yang dilakukan saat terjaga adalah dusta terhadap makhluk.
  2. Mimpi itu dari syaitan, oleh karena itu Rasulullah menamakan al-hulm bukan ru’ya. Dan hulm (mimpi) di sini adalah dusta dan itu berarti dari syaitan.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/515-515

Related Posts:

Larangan Menceritakan Mimpi Jelek

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw., beliau bersabda, 

“Jika akhir zaman sudah semakin dekat maka mimpi seorang muslim hampir selalu menjadi nyata dan orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur ucapannya. Mimpi seorang muslim merupakan satu bagian dari 45 bagian dari kenabian. Mimpi itu ada tiga macam: Mimpi yang baik merupakan kabar gembira dari Alloh. Mimpi buruk berasal dari syaitan. Dan mimpi yang sekedar bisikan saja (bunga tidur). Jika salah seorang kalian melihat mimpi buruk maka hendaklah ia bangkit melaksanakan shalat dan jangan ia ceritakan kepada orang-orang,” 

(HR BUkhori [7017] dan Muslim [2263]).   

Diriwayatkan dari Abu Usamah, ia berkata, “Aku pernah melihat sebuah mimpi yang membuat aku sakit hingga aku  mendengar Qatadah berkata, ‘Aku pernah melihat sebuah mimpi yang membuat aku sakit hingga aku mendengar Nabi saw. bersabda, ‘Mimpi baik berasal dari Allah. Jika salah seorang kalian melihat apa yang kalian sukai maka janganlah ia ceritakan mimpi tersebut kecuali  kepada orang yang menyukainya saja dan jika ia melihat mimpi yang tidak ia sukai maka hendaklah ia meminta perlindungan kepada Alloh dari kejahatan mimpi tersebut dan dari kejahatan syaitan, kemudian meludah lah tiga kali dan jangan ia ceritakan kepada siapapun, sebab mimpi itu tidak akan mendatangkan kemudharatan’,”

(HR Bukhori [7044] dan Muslim [2261]).

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, “Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 

‘Jika salah seorang kalian melihat mimpi yang ia sukai, sesungguhnya mimpi tersebut dari Allah, hendaklah ia memuji Allah atas mimpi tersebut dan silahkan beritahu orang lain. Dan apabila ia melihat mimpi yang tidak ia sukai, sesungguhnya mimpi tersebut dari syaitan, hendaklah ia memohon perlindungan kepada Alloh dari kejahatan mimpi tersebut dan jangan ia ceritakan kepada siapapun, sebab mimpi tersebut tidak akan mendatangkan mudharat’,” 

(HR Bukhori [7045]).

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a, “Bahwasanya rasulullah saw. didatangi seorang Arab Badui dan berkata, ‘Aku bermimpi bahwa kepalaku dipenggal lalu akui mengikuti kepalaku yang menggelinding.’ Kemudian Nabi saw. mencela Arab Badui tersebut dan bersabda, 
Jangan engkau ceritakan kisah syaitan yang mempermainkanmu disaat engkau tidur’,” 
(HR Muslim [2268]).
Kandungan Bab:
  1. Mimpi buruk merupakan permainan syaitan terhadap manusia, agar manusia merasa sedih karena timbul  pada dirinya prasangka buruk kepada Allah.
  2. Barangsiapa melihat mimpi yang tidak ia sukai maka hendaklah ia melaksanakan apa yang tercantum dalam sunnah untuk mengusir was-was dan menolak tipu daya syaitan. Yaitu: a) Melaksanakan shalat. b) Memohon perlindungan kepada Alloh dari kejahatan mimpi dan kejahatan syaitan. c) Meludah ke sebelah kiri sebanyak tiga kali. d). Merubah posisi tidur dari posisi semula. e) Jangan ia ceritakan mimpi buruk tersebut kepada siapapun.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam kitabnya Zaadul Maa’ad (II/457), “Perintahkan agar ia melaksanakan lima hal: 1) Meludah ke sebelah kiri. 2) Memohon perlindungan kepada Alloh dari gangguan syaitan. 3) Jangan ia ceritkan kepada siapapun. 4) Merubah posisi tidurnya. 5) Bangkit berdiri melaknsakan shalat. Barangsiapa melakukan lima hal itu maka mimpi buruk itu tidak akan memudharatkannya sedikitpun, bahkan dapat menolak kejelekan mimpi tersebut.”  
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/515-518

Related Posts:

Larangan Menceritakan Mimpi Baik Kecuali Kepada Orang Alim Atau Orang yang Menyukainya

Diriwayatkan dari Abu Razin , ia berkata, “Rasulullah bersabda, 
Mimpi itu berada di kaki burung selama tidak ditakwil dengan takwilan mimpi. Apabila ditakwil dengan takwilan mimpi maka pasti akan terjadi.  Jangan kamu ceritakan mimpi itu kecuali kepada orang yang menyukainya atau kepada seorang yang mengetahui takwil  mimpi’.”   Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Jangan ia ceritakan kecuali kepada seorang bijak atau kepada orang yang mencintai,” 
(Hasan lighairihi, HR Abu Dawud [5020] dan at-Tirmidzi [2278]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi , “Bahwa beliau pernah bersabda,
“Jangan ceritakan sebuah mimpi kecuali kepada seorang alim atau seorang yang memberi nasehat,” 
(Shahih, HR at-Tirmidzi [2280]).
Kandungan Bab:
  1. Mimpi akan menjadi  kenyataan sesuai dengan takwil yang diberikan. Inilah makna sabda Nabi, “…berada di kaki burung…” Rasulullah menyerupakan mimpi itu seperti burung yang terbang dengan cepatnya dan terkadang di kakinya ada yang sesuatu yang dengan sedikit gerakan saja akan jatuh.
  2. Oleh karena itu Rasululah memberi pengarahan kepada kita agar tidak menceritakan mimpi kecuali kepada seorang yang dapat memberi nasehat atau kepada seorang alim, atau kepada orang yang mencintainya, atau kepada seorang yang mengetahui tentang takwil mimpi. Sebab mereka ini akan memilih makna yang terbaik dari takwil mimpi itu, atau mereka akan memberikan sebuah pelajaran yang dapt mengingatkanmu atau memberimu sebuah peringatan. Al-Baghawi berkata dalam kitabnya Syarhus Sunnah (XII/214), “Seorang yang mencintaimu tidak mungkin menakwil mimpimu kecuali dengan takwil yang engkau suka. Kalupun ia tidak mengetahui pelajaran dibalik mimpi namun paling tidak ia tidak akan membuatmu khawatir. Adapun dzu ra’yi artinya seorang yang mengetahui tentang takwil mimpi dan ia akan memberitahukanmu tentang takwil yang sebenarnya atau takwil yang mendekati arti yang sebenarnya sesuai dengan pengetahuan yang ada padanya. Mungkin dalam mimpi tersebut terkandung peringatan untuk dirimu atau mengingatkan perbuatan jelek yang sedang engkalu lakukan atau merupakan berita gembira sehingga kamu bersyukur kepada Allah Ta’ala atas kabar gembira tersebut.”
  3. Tidak boleh menceritakan mimpi kepada orang yang dengki atau kepada orang yang membencimu atau kepada orang yang setahumu ia tidak menyukaimu. Sebab ia akan memberikan takwil dengan sesuatu yang tidak ia sukai karena adanya perasaan benci atau dengki pada dirimu, sehingga takwil tersebut menjadi kenyataan atau ia menjadi sedih dan bermuram durja karenanya. Itulah sebabnya Rasulullah saw. memerintahkan agar jangan menceritakan kepada orang yang tidak suka kepadanya. (Fathul Baari[XII/431]).
  4. Semua ini berkaitan takwil tersebut merupakan kemungkinan dari suatu mimpi, walaupun ditinjau dari satu sisi saja. Jadi bukan takwil yang sama sekali keliru. Apabila takwil tersebut sama sekali keliru tentu hal itu tidak berpengaruh terhadap orang yang bermimpi tersebut, Allahu a’lam.
  5. Hendaknya orang yang ditanya tentang takwil sebuah mimpi memberikan takwil yang baik dan  memberinya kabar gembira dengan mengatakan: apa yang kamu lihat itu baik dan engkau terjauh dari kejelekan. Atau katakan: mimpimu itu baik untukmu, untuk orang-orang yang kita cintai dan buruk untuk musuh-musuh kita. Atau dengan perkataan lainnya yang berisikan berita gembira dan tidak menimbulkan kekhawatiran.Allahu a’lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/518-520

Related Posts:

Larangan Keluar dari Jama’ah dan Membatalkan Bai’at

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata, 

“Barangsiapa melihat sesuatu yagn tidak ia sukai dari amirnya maka hendaknya ia bersabar. Sebab barangsiapa yang keluar dari jama’ah walaupun hanya sejengkal latias ia mati maka matinya mati jahiliyyah,” 

(HR Bukhori [7054] dan Muslim [1849]).   

Diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit ia berkata, “Kami telah membai’at Rasulullah agar senantiasa mendengar dan taat baik ketika lapang maupun sempit, ketika sulit maupun mudah, dan lebih mendahulukan beliau daripada diri kami sendiri dan kami tidak diperbolehkan menggugat penguasa yang sah, kecuali jika kau lihat pada dirinya terdapat kekufuran yang jelas dan engkau memiliki hujjah yang nyata dari Allah,” 

(HR Bukhari [7056] dan Muslim [1709]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda, 

Barangsiapa keluar dari ketaatan dan menyempal dari jama’ah lalu mati maka matinya mati jahiliyyah. Barangsiapa berperang di bawah panji tidak jelas, membenci atas dasar fanatisme golongan atau ia mengajak untuk bersikap fanatik terhadap golongan atau membela atas dasar fanatisme golongan, lalu ia terbunuh maka matinya mati jahiliyyah. Barangsiapa menentang dan membrontak terhadap penguasa yang baik dari ummatku atau penguasa yang jahat tanpa peduli terhadap orang mukmin dan tidak perlu mematuhi perjanjian yang telah ia buat dengan seseorang, maka ia tidak termasuk golonganku dan aku tidak termasuk golongannya,” 

(HR Muslim [1848]).


Diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata, “Abdullah bin Umar mendatangi Abdullah bin Muthi’ tentang perkara orang-orang hurrah (khawarij) yang terjadi pada zaman pemerintahan Yazid bin Muawiyyah. Abdullah bin Muthi’ berkata, ‘Berikan bantal kepada Abu Abdurrahman.’ Abdullah bin Umar berkata, ‘Aku datang kemari bukan untuk duduk, tetapi aku datang kemari untuk menyampaikan hadits Rasulullah saw. yang pernah aku dengar dari beliau, aku mendengar Rasulullah bersabda, 
‘Barangsiapa mencabut ketaatannya (terhadap penguasa) maka ia akan menemui Allah tanpa membawa hujjah dan barangsiapa mati sementara di lehernya tidak terdapat bai’at maka matinya mati jahiliyyah’,” 
(HR Muslim [1851]).
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, “Bahwasanya Rasulullah  pernah bersabda,
“Akan muncul para penguasa, kalian ketahui dan kalian ingkari. Barangsiapa mengetahui dan membenci perbuatan penguasa maka ia terlepas dari perbuatan dosa. Barangsiapa mengingkari mereka maka ia akan selamat. Tetapi yang berdosa adalah orang yang rela mengikuti mereka.’ Para sahabat bertanya, ‘Apakah kami boleh memerangi mereka?’ Beliau menjawab, ‘Tidak boleh selama mereka masih mengerjakan shalat’.” 
(HR Muslim [1854]).
Diriwayatkan dari Auf bin Malik , dari Rasulullah beliau bersabda, 
Sebaik-baik pemimpin kamu adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian memohonkan ampun untuk mereka dan mereka memohonkan ampun untuk kalian. Sejelek-jelek pemimpin adalah pemimpian yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalain melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” Para sahabat bertanya, “Apakah kami perangi mereka dengan pedang, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jangan, selamat mereka masih mengimami shalat kalian. Apabila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari penguasa maka bencilah perbutannya dan jangan kalian mencabut ketaatan darinya,” 
(HR Muslim [1855]).
Diriwayatkan dari Muawiyah , ia berkata, “Rasulullah  pernah bersabda,
‘Barangsiapa meninggal dalam keadaan tidak memiliki imam maka matinya mati jahiliyyah’,” 
(Shahih lighairihi, HR Ahmad [IV/96] dan Ibnu Hibban [4573]).
Kandungan Bab:
  1. Sangat diharamkan memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin dan memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin serta membatalkan bai’at yang telah diberikan.
  2. Jama’ah yang diharamkah keluar darinya adalah a) Jama’ah kaum muslimin dan imam mereka, berdasarkan sabda Rasulullah yang tercantum dalam hadits Hudzaifah,“Tetaplah di dalam jama’ah kaum muslimin dan imam mereka,” (HR Bukhari dan Muslim). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XIII/37) dari ath-Thabari berkata, “Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini dan tentang makna jama’ah. Sebagian berpendapat, ‘Perintah ini hukumnya wajib dan yang dimaksud jama’ah adalah sawadul a’zham.’ Sebagian lain mengatakan, ‘Maksud jama’ah adalah jama’ah para sahabat bukan generasi yang datang setelah mereka.’ Sekelompok lagi mengatakan, ‘Maksud jama’ah adalah para ulama karena Allah menjadikan mereka sebagai hujjah untuk sekalian makhluk dan manusi mengikuti mereka dalam masalah agama.’ Yang benar, maksud dari jama’ah yang tercantum dalam hadits luzuumu jama’ah adalah seorang pemimpin yang disepakati oleh sekalian kaum muslimin untuk mentaatinya. Barangsiapa mencabut bai’atnya berarti ia telah keluar dari jama’ah.” Di dalam hadits ini juga mengandung makna apabila ummat manusia tidak memiliki seorang imam dan saling berkelompok-kelompok maka jangan ikuti satupun dari kelompok itu dan berusaha untuk menjauhkan diri kelompok-kelompok tersebut karena khawatir akan terperosok ke dalam kejelekan. Dengan cara ini semua hadits-hadits di atas dapat dikompromikan dan dapat menyatukan seluruh perbedaan pendapat yang ada. b) Jika kaum muslimin tidak memiliki jama’ah dan imam maka hendaklah anda menjauhkan diri dari semua kelompok bid’ah. Hanya saja seorang muslim harus berpegang dengan prinsip-prinsip al-firqatun naajiyah dan ath-thaifatul manshurah, sebab keduanya adalah jama’ah berdasarkan hadits Anas bin Malik , tentang hadits iftiraq. Dari Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 71 golongan dan ummatku akan terpecah menjadi 72 golongan, semuanya di dalam neraka kecuali satu,  yaitu jama’ah,” (Hadits shahih). c) Dengan demikian jangan mengikuti salah satu firqah dan kelompok sempalan itu, tetapi ia harus berpegang teguh dengan pedoman yang dipegang Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Karena pada saat seperti ini jama’ah adalah berupa manhaj dan jalan hidup. Ibnu Hibban berkata dalam kitab Shahihnya (XIV/126), “Perintah untuk berjama’ah merupakan lafadz umum namun maksudnya adalah sesuatu yang khusus. Sebab maksud jama’ah adalah perkumpulan sahabat-sahabat Rasulullah saw. Barangsiapa berpegang dengan apa yang dipegang oleh sahabat dan menjauhkan diri dari kelompok sesudah mereka maka ia tidak dikatakan menyelisi dan menyempal dari jama’ah. Dan barangsiapa menjauh dari jama’ah para sahabat dan mengikuti orang-orang setelah sahabat berarti ia telah menyempal dari jama’ah sahabat. Dengan demikian jama’ah setelah sahabat adalah mereka yang memiliki agama, akal dan ilmu sesuai dengan sahabat dan tidak memperturutkan hawa nafsu mereka walaupun jumlah mereka sangat sedikit. Jadi bukan sekumpulan orang-orang awam dan jahil walaupun jumlah mereka banyak.” Ibnu Hibban rahimahullah juga berkata di dalam kitabShahihnya (X/434), “Sabda Rasulullah saw. ‘…matinya mati jahiliyyah.‘ Artinya barangsiapa yang mati dan tidak punya keyakinan adanya seorang imam yang mengajak manusia untuk mentaati Allah sehingga imam tersebut menjadi penegak urusan Islam ketika terjadi masalah dan perkara justru ia mengikat diri kepada orang yagn tidak seperti itu sifatnya, maka matinya mati jahiliyyah.” Ia juga berkata, “Zhahir hadits bahwa barangsiapa meninggal sementara ia tidak memiliki seorang imam, maksudnya adalah Nabi saw. maka matinya mati jahiliyyah. Sebab imam ummat manusia di dunia adalah Rasulullah saw. Barangsiapa yang tidak mengimani kepemimpinan beliau atau meyakini kepemimpinan selain beliau, lebih mendahulukan pendapatnya daripada sabda beliau, lalu ia meninggal maka matinya mati jahiliyyah.” Saya katakan, inilah makna yang diisyaratkan oleh Abdullah bin Mas’ud , ketika ia berkata, “Jama’ah adalah sesuatu yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu sendirian.” Saya telah  membahas secara panjang lebar mengenai wajibnya berpegang dengan manhaj salafush shalih dari kalangan para sahabat , dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik dari kalangan ahli ilmi dan iman dalam kitabku yang berjudul “Dar’ul Irtiyaah ‘an Hadits Maa Ana ‘Alaihi wa Ashaabi” dan kitabku yang berjudul“Limadzakhtartu Manhaj Salaf?
  3. Sebagian jama’ah-jama’ah Islam memahami bahwa hadits-hadits di atas sesuai dengan apa yang mereka lakukan, dan mengira inilah jama’ah yang wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk bergabung di bawah panji-panjinya dan memberikan bai’at kepada pendirinya yang mereka sebut dengan istilah imam. Jelas itu semua bertentangan dengan kaidah Islam sebagaimana yang telah aku jelaskan dalam kitabku al-Jama’atul Islamiyyah fi Dhau’il Qur’an was sunnah wa Fahmi as-Salafush ash-Shalih.
  4. Tidak boleh memberontak kepada para penguasa walaupun mereka berbuat jahat dan zhalim. Ini merupakn kesepakatan ahli sunnah dan mayoritas ulama hadits.
  5. Penguasa yang bertindak jahat adalah penguasa yang dibenci perbuatan dan tindakan mereka. Mereka itu diperintahkan untuk berbuat baik dan dilarang berbuat mungkar serta tidak perlu ditaati jika mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat. Seorang hamba muslim senantiasa memberikan hak mereka dan meminta haknya kepada Allah serta tidak mengacungkan pedang. Karena dapat menimbulkan fitnah, pertumpahan darah, mengoyahkan kehormatan dan menimbulkan berbagai kebinasaan yang tidak diketahui kecuali hanya ALlah Ta’ala.
Untuk masalah ini, ada beberapa perincian dan furu’ yang dapat dibaca pada kitab-kitab besar yang ditulis oleh para ulama salafush shalih.   Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atauEnsiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/520-528

Related Posts:

Larangan Melakukan Provokasi di Antara Kaum Muslimin

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah , berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, 

“Sesungguhnya syaitan sudah putus asa untuk mengalihkan orang-orang shalat agar menyembahny di Jazirah Arab, tetapi ia berhasil menimbulkan permusuhan di antara mereka,” (HR Muslim [2812]). 

Dan diriwayatkan dari Jabir , ia berkata, “Rasululah pernah bersabda, 

‘Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, lalu ia mengiri prajurit-prajuritnya. Prajurit yang paling dekat dengan Iblis adalah prajurit yang dapat menimbulkan fitnah terbesar. Salah satu prajurit syaitan berkata, ‘Aku telah melakukan ini dan itu.’ Kemudian datang prajurit lain dan berkata, ‘Aku tidak membiarkannya hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan isterinya.’ Lalu Iblis menyuruhnya mendekat dan berkata, ‘Sungguh kamu adalah prajurit terhebat’,” (HR Muslim [2813]).


Kandungan Bab:
  1. Barangsiapa berusaha untuk meimbulkan fitnah atau melancarkan provokasi dikalangan ummat Islam berarti ia adalah syaitan dan seorang munafik. Oleh karena itu Imam Muslim mencantumkan kedua hadits ini dalam bab sifat-sifat orang munafik.
  2. Timbulnya permusuhan, kebencian dan kedengkian akan dapat menyebabkan rapuhnya shaf kaum muslimin dan akan membuat mereka hina di hadapan Allah dan di hadapan mereka sendiri.
Sumber:

Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/528-529

Related Posts: