Larangan Memberikan Bantuan Untuk Menghalangi Penegakan Hukum

Allah berfirman, 

"Dan barangsiapa yang memberikan syafa'at buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya..." 
(an-Nisa': 85).   

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, Rasulullah bersabda, 

"Barangsiapa yang bantuannya menghalangi penegakan hukum Allah berarti ia telah melawan hukum perintah Allah. Barangsiapa yang mati meninggalkan hutang, maka di akhirat tidak ada lagi dinar dan dirham akan tetapi yang ada hanyalah hitungan pahala dan dosa. Barangsiapa yang berdebat membela kebathilan sementara ia mengetahuinya maka ia berada dalam kemurkaan Allah hingga ia meninggalkannya. Barangsiapa yang berkomentar tentang seorang muslim sesuatu yang tidak ada padanya maka ia akan dibenamkan dalam radghatul khabal (lumpur yang berasal dari perasan keringat penduduk neraka) hingga ia keluar dari perkataannya," 
(shahih, HR Abu Dawud [3597]).

  Rasulullah  berkata kepada Usamah bin Zaid   ketika membantu seorang wanita al-Makhzumiyyah, "Apakah engkau memberikan bantuan untuk menghalangi pengegakan hukum Allah?"

Kandungan Bab:
  1. Haram hukumnya memberikan bantuan untuk menghalangi penegakan h ukum Allah, karena itu adalah hak Allah maka tidak boleh dipandang remeh.
  2. Barangsiapa yang bantuannya menghalangi penegakan hukum Allah berarti ia telah melawan perintah Allah dan kekuasaan-Nya.
  3. Hadits-hadits bab di atas berlaku apabila kasusnya sudah diangkat kepada imam (penguasa). Adapun sebelum itu, dibolehkan memberikan bantuan, waallahu a'lam. Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (X/329), "Hadits ini berlaku apabila kasusnya sudah sampai kepada imam, adapun sebelumnya makan dibolehkan memberikan bantuan untuk menjaga kehormatan tardakwa. Sebab menutupi kesalahan orang yang berbaut kesalahan adalah dianjurkan." Dalilnya adalah sabda Nabi saw, "Saling memaafkanlah di antara kamu dalam perkara hudud, namun apabila kasusnya sampai kepadaku maka harus diproses," (Shahih lighairhi, HR Abu Dawud [4376]).
  4. Dibolehkan memberikan bantuan dalam hukum ta'zir (bukan hukum hudud), berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Maafkanlah kesalahan orang-orang yang terpuji akhlaknya kecuali dalam masalah  hudud," (Shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [465]). Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (X/330), "Di dalam ini terdapat dalil bolehnya menggugurkan hukum ta'zir, karena hukum ta'zir tidaklah wajib. Kalaulah wajib tentunya sama saja antara orang yang terpuji akhlaknya dengan lainnya." Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqaalani dalam Fathul Baari (XII/88) berkata, "Dapat diambil faidah darinya bolehnya memberi bantuan hukum ta'zir. Ibnu Abdil Baar dan lainnya telah menukil kesepakatan dalam masalah ini. Termasuk di dalamnya semua hadits yang berisi anjuran menutupi kehormatan seorang muslim. Namun semua itu berlaku apabila kasusnya belum sampai kepada penguasa."
  5. Sebagian ulama berpendapat bahwa bantuan hukum boleh diberikan kepada orang-orang yang diketahui tidak suka mengganggu orang lain. Kesalahan yang dilakukannya itu dianggap sebagai sebuah kekeliruan. Aku katakan, "Hal itu didukung oleh makna tersirat yang diambil dari kata Dzawil Haihaat (orang yang terpuji akhlaknya). Imam al-Baihaqi (VIII/334) meriwayatkan dari imam asy-Syafi'i bahwa beliau berkata, "Hanya orang-orang yang dikenal sebagai orang jahat. Seseorang tentunya kadangkala tergelincir dalam kesalahan."
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/476-478.

Related Posts:

Larangan Menegakkan Hukum Hanya Kepada Orang Lemah Tidak Kepada Orang Terpandang

Diriwayatkan dari Aisyah bahwa kaum Quraisy sangat prihatin disebabkan kasus seorang wanita al-makhzumiyyah yang kedapatan mencuri. Mereka berkata, "Siapakah yang berani berbicara kepada Rasulullah ? Tidak ada yang berani kecuali Usamah, orang yang dikasihi oleh Rasulullah " Maka Usamah pun berbicara kepada beliau. Rasulullah berkata, "Apakah engkau ingin memberikan bantuan untuk menghalangi penegakan hukum Allah?" Kemudian beliau bangkit dan berkhutbah, 

"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya ummat sebelum kalian sesat disebabkan apabila orang-orang terpandang kedapatan mencuri maka mereka lepaskan dari hukuman namun apabila orang lemah yang mencuri mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalau Fathimah bin Muhammad mencuri niscaya Muhammad akan memotong tangannya," 

(HR Bukhari [6788] dan Muslim [1688]).   

Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, ia berkata, "Rasulullah bersabda,

'Tegakkanlah hukum Allah atas orang yang dekat ataupun orang yang jauh. Janganlah engkau terpengaruh celaan orang-orang yang suka mencela dalam penegakan hukum Allah'," 

(Hasan, HR Ibnu Majah [2540]).

Kandungan Bab:

  1. Kerasnya pengharaman memberikan bantuan dalam masalah hudud setelah kasusnya sampai kepada imam (penguasa).
  2. Pemilahan dalam penegakan  hukum yang dilakukan oleh penguasa adalah bentuk kezhaliman yang bisa mendatangkan kebinasaan dan kesesatan atas ummat. Oleh karena itu seharusnya atas waliyul amri tidak pandang bulu dalam penegakan hukum Allah dan syari'atnya atas orang yang berhak menerimanya, meskipun ayah atau anak sendiri, atau karib kerabat atau orang yang terhormat, mulia dan terpandang.
  3. Diharuskan mengingkari secara tegas terhadap oknum yang berusaha meremehkan penegakan hukum hudud atau  meminta keringanan untuk menggugurkan hukuman atau memberikan bantuan bagi terpidana.
  4. Imam atau wakilnya harus menjalankan proses hukum apabila kasusnya sudah diangkat kepadanya. Janganlah ia menerima pembelaan dari orang-orang yang berusaha memberi pembelaan. Janganlah ia terpengaruh dengan orang-orang yang suka mencela dalam menegakkan hukum Allah.
  Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/478-480.

Related Posts:

Larangan Menjalankan Hukum Atas Orang Gila

Diriwayatkan dari Abu Hurairah , ia berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah  saat itu beliau berada di masjid. Laki-laki itu memanggil beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku telah berzina!’ Namun Rasulullah  berpaling darinya, sehingga ia mengulangi pengakuannya sampai empat kali. Setelah ia bersaksi atas dirinya sebanyak empat kali persaksian Rasulullah memanggilnya dan bertanya, ‘Apakah engkau gila?’ Ia menjawab, ‘Tidak!’ ‘Apakah engkau sudah menikah?’ tanya beliau. ‘Sudah!’ katanya. Maka Nabi berkata, ‘Bawa dia dan rajamlah’,” 
(HR Bukhari [V/68]). 
Kandungan Bab:
  1. Apabila orang gila laki-laki ataupun perempuan terkena hukum hudud maka hukuman tidak dijalankan atasnya. Karena pena telah diangkat atasnya hingga ia sembuh. Oleh karena itulah Rasulullah bertanya kepada laki-laki tersebut, “Apakah engkau gila?”
  2. Di antara para sahabat yang memutuskan hukum ini ialah Ali bin Abi Thalib dan disetujui oleh Umar .
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas , ia berkata, “Dihadapkan kepada Umar seorang wanita gila yang berzina. Beliau bermusyawarah dengan beberapa orang untuk memutuskan hukumnya. Umar memerintahkan agar wanita itu dirajam. Lalu wanita itu dibawa dan kebetulan melintas di hadapan ALi bin Abi Thalib. Beliau bertanya, ‘Ada apa dengan perempuan ini?’ Mereka menjawab, ‘Ia adalah perempuan gila dari bani Fulan telah berzina. Umar memerintahkan agar ia dirajam.’ Ali berkata, ‘Lepaskanlah ia.’ Kemudian Ali mendatangi Umar dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau ketahui bahwa pena telah diangkat atas tiga macam orang: atas orang gila hingga ia sembuh, atas orang tidur hingga bangun, atas anak kecil hingga ia baligh.’ Umar menjawab, ‘Tentu saja.’ Ali berkata, ‘Kalau begitu bebaskan ia.’ Umar berkata, ‘Ya, bebaskan ia.’ Maka Ali pun bertakbir’.”Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali berkata, “Tidakkah engkau ingat bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Diangkat pena atas tiga orang. orang gila yang tidak beres akalnya hingga ia sembuh, orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh’.”Umar menjawab, “Benar!” Ali berkata, “Kalau begitu bebaskanlah!” (Shahih, HR Abu Dawud [4399]). 
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/480-481.

Related Posts:

Larangan Menjatuhkan Hukuman Lebih dari 10 Kali Selain Hukum Hudud

Diriwayatkan dari Abu Burdah , ia berkata, Rasulullah bersabda, 
Janganlah mencambuk lebih dari sepuluh kali cambukan kecuali dalam hukum hudud,” 
(HR Bukhari [6848] dan Muslim [1708]).
Kandungan Bab:
  1. Para ulama berselisih pendapat tentang maksud hukum hudud dalam hadits di atas. Apakah maksudnya hukuman yang telah ditentukan kadarnya oleh syari’at, seperti hukuman zina, mencuri, minum khamr, menuduh orang lain berzina tanpa bukti, memerangi Allah dan rasul-Nya, membunuh, qishash pribadi atau kelompok, dihukum mati karena murtad ataukah maknanya umum, meliputi semua perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:”Itulah larangan Allah, maka janganlah engkau mendekatinya…,” (Al-Baqarah: 187). Dalam firman-Nya, “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim,” (Al-Baqarah: 229). Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarh Sunnah (X/343-344), “Hukum Allah (hudud) ada dua macam: Pertama, hukum yang tidak boleh didekati, seperti zina dan sejenisnya. Allah berfirman, “Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya…,” (Al-Baqarah: 187). Kedua: Hukum yang tidak boleh dilanggar, seperti menikah lebih dari empat dan sejenisnya. Allah berfirman, “Itulah hukum-hukum Allah maka janganlah kamu melanggarnya…,” (Al-Baqarah: 229). ku katakan, hudud yang dikatakan dalam hadits maksudnya adalah hukum hudud yang telah ditetapkan kadarnya, bedasarkan beberapa alasan berikut ini: a). Hukum hudud yang telah ditetapkan oleh syari’at semuanya lebih dari sepuluh kali cambukan, maka pengecualian dalam hadits di atas adalah benar. (b) Kalaulah kita bolehkan hukum cambuk lebih dari sepuluh kali dalam semua bentuk pelanggaran hak Allah maka tidak ada satu pun yang boleh dikhususkan larangannya. Tentunya secara tidak langsung kita telah membatalkan kandungan hadits.
  2. Sebagian ulama membedakan hukum ta’zir antara dosa-dosa besar. Mereka membolehkan hukum cambuk lebih dari sepuluh kali, dan mereka menyebutkan hukum hudud. Mereka berdalil dengan ayat di atas. Mereka memasukkan dosa-dosa kecil dalam pengecualian tersebut. Menurut mereka itulah yang dimaksud dengan larangan menambah lebih dari sepuluh kali cambukan yang disebutkan dalam hadits (yaitu untuk dosa kecil).Saya katakan, ini merupakan pemisahan tanpa dalil dan penetapan hukum tanpa disertai nash. Karena yang dimaksud hukum ta’zir adalah pelajaran dan teguran. Pelanggaran yang dapat menyebabkan jatuhnya hukum hudud. Maka hukumnya juga tidak boleh sama dengan hukum hudud. Oleh karena itu syari’at menentukan batas hukuman tertinggi dalam hukum hudud dan tidak menetapkan batas hukum terendah. Dengan demikian hukuman berkisar di antara batasan tersebut menurut kadar kejahatan yang dilakukan, wallahu a’lam.
  3. Dengan demikian yang dimaksud bahwa hukum ta’zir berupa cambukan tidak boleh melebihi sepuluh kali cambukan. Hukuman itu sudah cukup mejadi teguran atas pelakunya. Oleh karena itu al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Baari (XII/179), “Hal itu mungkin dilakukan dengan sepuluh kali cambukan, bergantung kepada sifat dan cara mencambuk atau menderanya, antara cambukan yang kuat dan cambukan yang ringan.4. Hadits di atas tidaklah menafikan hukuman ta’zir lainnya yang juga bisa menjadi peringatan atas pelakunya, seperti membuat lapar, denda, penahanan seperti penjara, diasingkan, atau celaan dan cercaan. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam Fathul Baari (XII/179), “Benar, dapat diambil faidah dari hadits tersebut bolehnya menjatuhkan hukum ta’zir seperti membuat lapar, atau hukuman maknawiyah sejenitsnya.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/481-483.

Related Posts:

Larangan Menghukum Seseorang Karena Kejahatan Orang Lain

Firman Allah Ta'ala, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dan kejahatan yang dikerjakannya…," (Al-Baqarah: 286). 

Allah Ta'ala juga berfirman, "Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…" (Al-An'aam: 164).   

Diriwayatkan dari Usamah bin Syarik , ia berkata, "Rasulullah  bersabda, 'Kesalahan seseorang tidak akan dibebankan kepada orang lain," (Hasan, HR Ibnu Majah [2672]).   

Diriwayatkan dari Thariq al-Muharibi , ia berkata, "Aku pernah  melihat Rasulullah mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua tangannya seraya bersabda, 'ketahuilah bahwa seorang itu tidak akan dihukum akibat kejahatan yang dilakukan anaknya. Ketahuilah bahwa seorang ibu tidak akan dihukum akibat kejahatan yang dilakukan anaknya'," (Shahih, HR an-Nasa'i [VIII/55]).

  Diriwayatkan dari Abu Ramtsah, ia berkata, "Aku dan ayahku pergi menghadap Nabi saw, lalu beliau bertanya kepada ayahku, 'Apakah dia anakmu?' Ayahku menjawab, 'Ya, demi Rabb Ka'bah.' Beliau bertanya lagi, 'Apa benar?' Ia menjawab, 'Untuk itu, aku berani bersumpah.' Ramtsah berkata, 'Lalu Rasulullah saw. tersenyum karena aku mirip dengan ayahku dan karena sumpah ayahku untukku. Kemudian beliau bersabda, "Sesungguhnya kamu tidak dihukum karena perbuatan yang ia lakukan dan ia tidak akan dihukum atas perbuatan yang kamu lakukan.' Lantas Rasulullah  membaca ayat, 'Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,' (Al-An'aam: 164)," (Shahih, HR Abu Dawud [4207-4495]).

  Ada beberapa hadits lain yang termasuk dalam bab ini yaitu dari Amr bin  al-Ahwash, Tsa'labah bin Zahdam dan Laqith bin Amir.   

Kandungan Bab:  

  1. Larangan menghukum seseorang karena kesalahan yang dilakukan orang lain. Al-Manawi berkata dalam kitabnya Faidhul Qadir (VI/391), "Larangan yang dicantumkan dalam bentuk nafi menunjukkan sebuah penegasan. Yakni kejahatan seorang ibu tidak akan dibebankan kepada anaknya padahal keduanya memiliki kerikatan yang sangat dekat dan sangat  mirip. Setiap orang tua dan anak akan duhukum sesuai kejahatan yang dilakukannya sendiri dan tidak akan dihukum akibat kesalahan orang lain. Makna yang sangat mengena ini diambil dari sabda beliau, 'Laa Tajni.' Sebab apabila seorang anak dihukum akibat kejahatan orang tuanya, sama artinya ia telah melakukan kejahatan itu sendiri. Oleh karena itu, hukuman tersebut diputus dari pangkalnya dan menetapkan bahwa pembebanan kejahatan salah seorang kepada orang laian adalah suatu hal yang tidak ada dan seolah-olah tidak pernah terjadi. Ini merupakan ungkapan yang sangat mengena, karena apabila sebua sebab dinafikan dari pangkalnya berarti penafian musabab tersebut memiliki arti yang lebih tegas dan lebih  mengena."
  2. Celaan terhadap tindakan yang biasa dilakukan pada zaman jahiliyah yakni merelakan diri dihukum atas kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Dimana mereka menghukum kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku lantas hukumannya dibebankan kepada karib kerabat terdekat. Tindakan seperti ini masih diyakini orang-orang yang tinggal dari daerah-daerah pedalaman, pegunungan, dan pedusunan yang enggan melepaskan diri dari kebiasaan keluarga kabila yang rusak dan lingkungan  yang keras. As-Sindi dalam Haasyiah 'Alan Nasa'i (VIII/53) berkata, "Ini merupakan berita tentang bathilnya perkara jahiliyyah."
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/483-489. 

Related Posts: