Larangan Mencela Angin

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam melarang mencela angin, karena sesungguhnya angin itu berhembus dengan perintah Penciptanya, bukan atas kemauannya sendiri. Maka mencela angin berarti mencela Allâh Ta’ala. Bahkan jika seseorang melihat hembusan angin yang menakutkannya hendaklah dia berdoa dengan doa yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam sebagaimana hadits berikut ini: 


عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَسُبُّوا الرِّيحَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا مَا تَكْرَهُونَ فَقُولُوا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيحِ وَمِنْ خَيْرِ مَا فِيهَا وَمِنْ خَيْرِ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيحِ وَمِنْ شَرِّ مَا فِيهَا وَمِنْ شَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ 

Dari Ubayy bin Ka’b, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , beliau bersabda, “Janganlah kamu mencela angin! Jika kamu melihat apa yang kamu tidak suka dari angin itu maka katakanlah, ‘Wahai Allâh! Kami mohon kepada-Mu dari kebaikan angin ini, dan dari kebaikan yang ada pada angin ini, dan dari kebaikan yang angin ini dikirim. Dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, dan dari keburukan yang ada pada angin ini, dan dari keburukan yang angin ini dikirim”. [HR. Tirmidzi, no: 1599; Ahmad, 5/123]


Kisah Angin Kencang Selama 8 Hari

Related Posts:

Larangan Mencela Binatang

Tentang larangan mencela dan melaknat binatang dapat difahami dari hadits sebagai berikut:
 
عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ بَيْنَمَا جَارِيَةٌ عَلَى نَاقَةٍ عَلَيْهَا بَعْضُ مَتَاعِ الْقَوْمِ إِذْ بَصُرَتْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَضَايَقَ بِهِمْ الْجَبَلُ فَقَالَتْ حَلْ اللَّهُمَّ الْعَنْهَا قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُصَاحِبْنَا نَاقَةٌ عَلَيْهَا لَعْنَةٌ
 
Dari Abu Barzah al-Aslami, dia berkata: “Ketika seorang budak wanita berada di atas seekor onta tungangan, dan di atas onta itu terdapat barang milik orang-orang lain. Ketika onta itu melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam sedangkan (jalan) gunung sempit dengan (lewatnya) mereka. Maka budak wanita itu berkata: “Yak cepatlah hai onta, ya Allâh laknatlah onta ini!” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Onta yang dilaknat tidak boleh menemani kita”. [HR. Muslim, no: 2595]

  Jangan Mencela Ayam Jantan
 
Bahkan secara khusus terdapat larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dari mencela ayam jantan, karena ayam jantan itu berkokok untuk membangunkan manusia agar beribadah kepada Penciptanya.
 
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا الدِّيكَ فَإِنَّهُ يُوقِظُ لِلصَّلَاةِ
 
Dari Zaid bin Khalid, dia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Janganlah kamu mencela ayam jantan, karena ayam jantan itu membangunkan (orang) untuk shalat”. [HR. Abu Dawud, no: 5101; Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani]
 
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam : “karena ayam jantan itu membangunkan (orang) untuk shalat”, yaitu dengan berkokok, ayam jantan itu membangunkan orang untuk shalat malam. Sedangkan orang yang membantu melakukan ketaatan berhak dipuji, bukan dicela. Dan telah menjadi kebiasaan bahwa ayam jantan itu berkokok beriringan ketika mendekati fajar. [Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Abi Dawud, hadits no: 5101]


Image result for Larangan Mencela Binatang

Related Posts:

Larangan Mencela Orang Islam


Seorang Muslim dan Mukmin memiliki kedudukan istimewa di hadapan Allâh Azza wa Jalla , maka janganlah seseorang suka mencelanya, karena hal itu merupakan perbuatan kefasikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah mengingatkan hal ini dengan sabdanya dalam hadits di bawah ini:

عَنْ زُبَيْدٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا وَائِلٍ عَنْ الْمُرْجِئَةِ فَقَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Dari Zubaid, dia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Wail tentang Murji’ah (satu kelompok yang berpendapat bahwa bahwa amal tidak termasuk iman, sehingga kemaksiatan tidak membahayakan iman), maka dia berkata: Abdullah telah menceritakan kepadaku bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Mencela seorang Muslim merupakan kefasikan, dan memeranginya merupakan kekafiran”. [HR. Al-Bukhâri, no: 48; Muslim, no: 64; dll]

Jawaban Abu Wail dengan membawakan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam di atas sebagai bantahan kepada Murji’ah, yang mereka tidak menjadikan celaan kepada seorang Muslim sebagai kefasikan, dan memeranginya sebagai kekafiran. [Lihat Syarah Shahih Bukhâri, 1/111, karya Ibnu Baththal]

Bahkan melaknat seorang Mukmin itu seperti membunuhnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ حَلَفَ بِمِلَّةٍ غَيْرِ الإِسْلاَمِ كَاذِبًا فَهُوَ كَمَا قَالَ، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ، وَلَعْنُ المُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ، وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ

Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda: “Barangsiapa bersumpah dengan selain agama Islam secara dusta, maka dia seperti apa yang dia katakan. Barangsiapa membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia akan disiksa di neraka Jahannam dengannya. Melaknat seorang mukmin seperti membunuhnya. Dan barangsiapa menuduh seorang mukmin dengan kekafiran, maka dia seperti membunuhnya.” [HR. Al-Bukhâri, no. 6105, 6652]

Image result for mencela

Related Posts:

Larangan Seruan Jahiliyah

Dari Jabir bin Abdullah  berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah saw, kaum muhajirin berkumpul bersama Rasulullah sehingga mereka banyak. Dalam rombongan muhajirin ada seorang lelaki yang suka berkelakar. Ia memukul pantat seorang anshar. Maka marah besarlah orang anshar itu sehingga keduanya saling memanggil temannya. Si anshar berteriak, ‘Hai orang-orang anshar!’ Sedang si muhajirin berseru, ‘Hai orang-orang muhajirin!’ Maka Rasulullah pun keluar dan berkata, ‘Mengapa harus ada seruan ahli Jahiliyah? Kemudian Rasulullah bertanya, ‘Ada apa gerangan dengan mereka?’ lalu diceritakan kepada beliau tentang seorang muhajirin yang memukul pantat seorang anshar. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Tinggalkanlah seruan Jahiliyah itu karena ia amat buruk’!” (HR Bukhari [3518]).

Dari Abdullah bin Mas’ud , dari Rasulullah bersabda, “Bukan dari golongan kami orang yang menampar-nampar pipi saat musibah, mengoyak-oyak pakaian dan meratap dengan ratapan jahiliyah,” (HR Bukhari [3519]).

Dari Ubai bin Ka’ab , bahwa ia mendengar seorang pria berkata, “Hai keluarga fulan!” maka Ubay berkata kepadanya, “Gigitlah kemaluan bapakmu!” Ubay mencelanya terang-terangan tanpa memakai bahasa kiasan! Orang itu berkata kepadanya, “Wahai Abul Mundzir (Abu Ubay) engkau bukanlah orang yang suka berkata keji” Ubay berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berbangga-bangga dengan slogan-slogan jahiliyah, maka suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya dan tidak usah pakai bahasa kiasan terhadapnya,” (Shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [963]).

Masih dari Ubay, ia berkata, “Dua orang beradu nasab pada masa Rasulullah salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan lantas engkau ini siapa? Celakalah engkau! Maka Rasulullah bersabda, ‘Dua orang saling berbangga nasab pada masa Nabi Musa, salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan -hingga ia menyebutkan sembilan nenek moyangnya- lantas engkau ini siapa? celaka engkau! Maka ia berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan bin Islam.’ Lalu Allah mewahyukan kepada Musa tentang dua laki-laki yang beradu nasab tadi. Adapun engkau wahai orang yang menisbatkan diri sampai kepada sembilan nenek moyangmu semuanuya berada dalam neraka dan engkaulah yang kesepuluhnya. Adapun engkau wahai orang yang menisbatkan diri kepada dua orang saja (yakni kepada ayah dan kakeknya saja) keduanya berada dalam surga dan engkaulah yang ketiganya’,” (HR Ahmad [V/128]).

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kamu berbangga-bangga dri ala jahiliyah dan berbangga-bangga dengan nenek moyang. Sesungguhnya diantara kalian ada yang mukmin lagi bertakwa dan ada yang fasik lagi celaka, kalian adalah anak keturunan Adam dan Adam diciptakan dari tanah. Hendaklah mereka meninggalkan kebiasaan membangga-banggakan suku. Karena mereka hanyalah bara dari bara-bara api neraka atau mereka akan menjadi lebih hina dari pada seekor serangga yang mendorong kotoran dengan hidungnya,” (Hasan, Abu Dawud [5116]).

Kandungan Bab:
  1. Haram hukumnya berbangga dengna nenek moyang dan nasab keterunan, khususnya dengan cara Jahiliyah dan pengagungan yang berlebihan. Allah telah mengabarkan bahwa pada asalnya manusia itu sama. Hanya saja mereka dibedakan kedudukannya dengan ketakwaan, Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesunggunya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal,” (Al-Hujarat: 13). 
  2. Slogan Jahiliyyah amatlah buruk, barangsiapa berbangga-bangga dengannya maka balaslah dengan ucapan, “Gigit saja kemaluan bapakmu itu!” Sebagai peringatan dan teguran, dan tidak perlu mengganti kata kemaluan dengan kata-kata kiasan. Hadits inilah yang dipraktekkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata, “Barangsiapa berbangga dengna kabilah maka suruhlah ia menggigit atau mengisap kemaluan nenek moyangnya!” (HR Ibnu Abi Syibah [XV/33/19031]). 
  3. Berbangga-bangga hanya dibolehkan dengan membanggakan Islam dan menisbatkan diri kepadanya, mengamalkannya, menerapkan syari’atnya dan mendakwahkannya. 
  4. Kemuliaan seseorang terletak pada apa yang terlahir di dirinyanya bukan pada nasabnya. Sebagaimana dikatakan oleh al-Fadhl bin Abi Thahir, “Seseorang dipandang mulia apabila ia memiliki kemuliaan pada dirinya, kemuliaan seseorang bukanlah terletak pada nasabnya. Tidaklah sama orang-orang yang membangga-banggakan nasabnya dengan orang yang benar-benar memiliki kemuliaan.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/572-575.

Image result for larangan seruan jahiliyah

Related Posts:

Larangan Berbuat Maksiat

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, yang artinya, "Rasulullah bersabda, 'Tidaklah seorang pezina itu berzina sedang ia dalam keadaan Mukmin. Tidaklah seorang peminum khamr itu meminum khamr sedang ia dalam keadaan Mukmin. Tidaklah seorang pencuri itu mencuri sedang ia dalam keadaan Mukmin. Dan tidaklah seorang perampok itu merampok dengan disaksikan oleh manusia sedang ia dalam keadaan Mukmin'." (HR Bukhari [2475] dan Muslim [57]). 

Dalam riwayat lain ditambahkan, "Tinggalkanlah perbuatan itu, tinggalkanlah perbuatan itu!" (HR Muslim [57] dan [103]). 

Dalam riwayat lain disebutkan, "Pintu taubat masih terbuka untuknya setelah itu!" (HR Muslim [57] dan [104]) 
 
Diriwayatkan dari Jarir, ia berkata, "Tatkala mengerjakan haji wada', Rasulullah berkata kepadaku, 'Suruhlah orang-orang diam!' Kemudian beliau berkata, 'Janganlah kalian kembali kepada kekufuran sepeninggalku dan saling menumpahkan darah di antara kalian'." (HR Bukhari [121] dan Muslim [65]). 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Ada dua perkara apabila manusia melakukannya mereka menjadi kufur; mencela keturunan dan meratapi orang mati'." (HR Muslim [67]). 

Diriwayatkan dari asy-Sya'bi, dari Jarir, bahwa ia mendengar Jarir berkata, "Budak mana saja yang melarikan diri dari tuannya, maka ia telah kufur sehingga kembali kepada tuannya." (HR Muslim [68]). 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda, "Janganlah kamu membenci bapakmu sendiri, barang siapa membenci bapaknya maka ia telah kufur." (HR Bukhari [6868] dan Muslim [62]). 

Kandungan Bab:
 
Di antara hal yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah, Kekufuran memiliki tingkatan, salah satu tingkatannya adalah kufrun duuna kufrin. Berdasarkan hasil penelitian dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabawi dalam masalah ini dan penggabungan beberapa dalil di dalamnya. Berikut penjelasannya: 

Pertama: Rasulullah menyebut sebagian dosa dengan kekufuran, sedang Allah masih memasukkan pelakunya dalam golongan kaum Mukminin. Allah berfirman, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb-mu dengan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih." (Al-Baqarah: 178). 

Dari penggabungan ayat dan hadits-hadits tersebut, dapat diketahui bahwa kufur yang dimaksud adalah kufrun duuna kufrin (kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam). Berikut ini akan kami sebutkan alasannya:
  1. Si pembunuh tidak keluar dari golongan kaum Mukminin, bahkan masih termasuk saudara bagi wali korban yang menuntut qishash, sudah barang tentu persaudaraan yang dimaksud adalah persaudaraan seagama.
  2. Disebutkan keringanan hukuman setelah dimaafkan oleh wali korban yang terbunuh. Sekiranya si pembunuh kafir, murtad dari agama, tentunya tidak akan ada keringanan!
  3. Disebutkan kasih sayang setelah keringanan tersebut, dan maghfirah merupakan konsekuensi dari kasih sayang. Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa-dosa selain syirik. Maka jelaslah bahwa dosa selain syirik disebut kufur, namun tidak mengeluarkan pelakunya dari agama.
    Allah berfirman, "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (Al-Hujuraat: 9-10).
Demikian pula, berdasarkan penggabungan ayat ini dengan hadits-hadits di atas, dapat kita tegaskan bahwa kufur yang dimaksud adalah kufrun duuna kufrin. Alasannya adalah sebagai berikut:
  1. Allah memasukkan kedua pihak yang saling berperang itu dalam golongan kaum Mukminin.
  2. Allah menyebut mereka sebagai dua pihak yang saling bersaudara. Persaudaraan yang dimaksud tentunya persaudaraan seagama.
  3. Allah menyebut mereka sebagai saudara bagi pihak yang mendamaikan keduanya. Tidak ragu lagi bahwa persaudaraan seimanlah yang menyatukan mereka.
  4. Allah menyebut pihak yang berbuat aniaya sebagai kelompok pembangkang. Mereka berhak diperangi hingga mereka kembali kepada perintah Allah, yakni menerima perdamaian. Sekiranya mereka kafir, bermakna keluar dari agama, tentu mereka harus diperangi hingga beriman kepada Allah.
  5. Para ulama telah menyepakati hukum-hukum yang berhubungan dengan kelompok pembangkang ini, yaitu kaum wanita mereka tidak boleh ditawan, harta mereka tidak boleh dirampas, orang yang melarikan diri dari mereka tidak boleh dikejar, orang yang terluka dari mereka tidak boleh dibunuh. Sekiranya mereka kafir, tentu hukumnya tidak demikian, sebagaimana telah dimaklumi bersama tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan peperangan.
    Demikian pula dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa kedua pihak yang berperang itu masih termasuk kaum Muslimin, misalnya sabda Nabi tentang cucu beliau, Hasan bin Ali yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, "Cucuku ini adalah sayyid, semoga Allah mendamaikan melalui dirinya dua kelompok kaum Muslimin yang bertikai."
     
    Allah telah mendamaikan dua kelompok kaum Muslimin yang bertikai setelah Hasan bin Ali. menyerahkan tampuk kekhalifahannya kepada Mu'awiyah bin Abu Sufyan. pada tahun 40 H, tahun itu kemudian disebut sebagai tahun Jama'ah. Disebabkan barisan kaum Muslimin dapat disatukan setelah sebelumnya tercerai-berai.

    Sekiranya dosa ini -yakni memerangi kaum Muslimin- hukumnya kafir, keluar dari agama, tentu sebagai konsekuensinya adalah pengkafiran para Sahabat ! Itulah yang menyebabkan tapak kaki kaum Khawarij tergelincir ke dalam jurang takfir! Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan dan dari tidak mendapat taufik dan rahmat.
Kedua: Rasulullah menafikan keimanan dari para pelaku sebagian maksiat, seperti zina, mencuri dan meminum khamr. Sekiranya para pelaku maksiat itu dihukumi kafir, dalam arti kata keluar dari agama, tentu mereka dihukumi murtad dan harus dibunuh, tidak perlu menjalani hukum hadd zina, mencuri dan meminum khamr. Tentu sudah jelas bathil dan rusaknya perkataan tersebut dalam pandangan Islam. Nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah serta ijma' menunjukkan bahwa para pezina, pencuri, qadzif (penuduh wanita baik-baik dengan tuduhan berzina tanpa bukti), tidaklah dibunuh sebagai orang murtad, namun dikenakan had. Itu menunjukkan bahwa mereka tidak dianggap murtad." (Syarhul 'Aqiidah ath-Thahaawiyah, hal. 321) 

Abu Ubaid berkata dalam kitab Al-Iman (halaman 88-89) berkenaan dengan bantahannya terhadap kelompok yang mengkafirkan pelaku maksiat, "Kemudian kami dapati Allah telah mendustakan perkataan mereka. Yaitu Allah menjatuhkan hukum potong tangan terhadap para pencuri, hukuman cambuk bagi para pezina dan qadzif. Sekiranya perbuatan dosa tersebut menyebabkan pelakunya kafir, tentu hukuman mereka adalah mati! Sebab, dalam sebuah hadits riwayat Bukhari disebutkan, Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah ia!" (HR Bukhari [3017]) 

Tidakkah engkau perhatikan, sekiranya mereka itu kafir, tentu hukuman yang dijatuhkan bukanlah potong tangan atau cambuk!? Demikian pula firman Allah terhadap orang yang dibunuh secara zhalim, "Maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya," dan ayat seterusnya. (Al-Israa': 33). 

Sekiranya membunuh hukumnya kafir, tentu tidak akan diberi kuasa kepada ahli waris korban untuk memberi maaf atau menerimam diyat, sebab pelakunya harus dibunuh. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmuu' al-Fataawa (VII/287-288), "Demikian pula setiap Muslim tentu mengetahui bahwa peminum khamr, pezina, qadzif dan pencuri, tidaklah digolongkan oleh Rasulullah sebagai orang yang murtad yang harus dibunuh. Bahkan, Al-Qur'an dan hadits-hadits mutawatir telah menjelaskan bahwa para pelaku kejahatan di atas berhak mendapat hukuman yang bukan merupakan hukuman orang murtad. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Qur'an, yaitu hukuman cambuk bagi qadzif dan pezina, hukum potong tangan bagi pencuri, dan hal ini telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi. Sekiranya para pelakunya murtad, tentu hukumnya harus dibunuh. Dua pendapat di atas telah diketahui kesalahannya karena bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah." 

Saya katakan, bilamana maksiat tidak melenyapkan keimanan dan tidak menyebabkan pelakunya kafir, keluar dari agama, maka penafian iman yang dimaksud dalam hadits-hadits di atas adalah penafian kesempurnaan iman, bukan penafian iman secara keseluruhan. Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut: 

Sabda Nabi, "Jika seorang hamba berzina, maka iman akan keluar darinya seperti naungan, dan apabila ia meninggalkannya, maka iman akan kembali kepadanya." (Shahih, HR Abu Dawud [4690]). 

Adapun buktinya adalah dialog yang terjadi antara saya dengan salah seorang tokoh jama'ah takfir seputar hadits-hadits tersebut. Ia berdalil dengan hadits tersebut atas kafirnya pelaku zina, peminum khamr dan pencuri. Aku pun membela madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dari sisi bahasa, saya katakan kepadanya, "Hadits-hadits ini tidak menunjukkan kepada apa yang Anda kehendaki dari sisi bahasa, ditambah lagi atsar-atsar Salafush Shalih dari kalangan Sahabat dan Tabi'in yang jelas bertentangan dengannya." "Bagaimana itu?" tanyanya. Saya katakan: "Sebab, kalimat-kalimat setelah kata nakirah merupakan sifat, dan setelah kata ma'rifah merupakan hal. Kalimat-kalimat ini menjelaskan tentang keadaan penzina, pencuri dan peminum khamr, yaitu mereka telah melakukan perbuatan dosa dan keji. Jika ia telah meninggalkannya, maka keimanannya akan kembali kepadanya." Ia pun terdiam dan tidak mampu memberi jawaban. 

Abu 'Ubaid dalam kitab Al-Iman (90-91) berkata, "Jika ada yang berkata, 'Bagaimana boleh dikatakan, 'Tidak beriman!' sementara status keimanan tidak tercabut darinya?' Maka jawabannya, 'Perkataan seperti itu dalam bahasa Arab sering digunakan dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Perkataan tersebut tidaklah menafikan amal dari pelakunya jika amal yang ia lakukan itu tidak sesuai menurut hakikat yang berlaku. Tidakkah engkau lihat mereka mengatakan kepada para pekerja yang tidak beres pekerjaannya, 'Engkau tidak mengerjakan apa-apa, engkau tidak melakukan apa-apa!' Maksudnya adalah pekerjaan yang dilakukannya kurang beres. Bukan maksudnya ia tidak mengerjakan apa pun sama sekali. Jadi, secara status ia telah bekerja, namun dilihat dari hasil, ia belum bisa disebut telah bekerja. Bahkan, orang Arab menggunakannya dalam masalah yang lebih besar daripada itu. Sebagai contoh; Seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya dan selalu menyakitinya, maka orang-orang akan berkata, 'Ia bukanlah anaknya!' Padahal mereka semua tahu bahwa anak itu adalah anak kandung orang tersebut. Demikian pula halnya saudara, isteri dan para budak. Madzhab mereka dalam masalah ini adalah memisahkan amal-amal yang wajib atas mereka berupa ketaatan dan kebajikan. Adapun yang berkaitan dengan status nikah, perbudakan dan nasab, maka tetap berdasarkan nama dan status asalnya (yaitu, orang tersebut tetap sebagai saudara, isteri atau anak-pent). Demikian pula halnya dosa-dosa yang menafikan iman yang terhapus adalah hakikat keimanan. Di antara salah satu kriterianya adalah ketundukan kepada syari'at. Adapun yang berkaitan dengan status, menurut konstitusi syari'at, ia masih tetap Mukmin. Kami telah menemukan beberapa dalil yang mendukung pendapat ini dari Al-Qur'an dan As-Sunnah." 

Masih banyak lagi beberapa dalil yang menunjukkan bahwa kufur yang dimaksud dalam hadits-hadits di atas adalah kufrun duuna kufrin. Tentu dalil-dalil tersebut tidak asing lagi bagi orang yang mencari kebenaran. 

Demikian pula pengertian kata kezhaliman, kefasikan atau kemunafikan (yaitu bukan kezhaliman, kefasikan atau kemunafikan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam-pent). Dalil-dalil dalam masalah ini sangat banyak dan sudah populer, tidak perlu disebutkan lagi di sini. Silahkan lihat kitab ash-Shalaah karangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, beliau telah membahas masalah secara ilmiah. 

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 140-147. 

Image result for maksiat

Related Posts:

Larangan Bersumpah Mendahului Allah

Diriwayatkan dari Jundab bin 'Abdullah, bahwa Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya ada seorang lelaki berkata, 'Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si Fulan!' Maka Allah berfirman, 'Siapakah yang bersumpah mendahului-Ku bahwa aku tidak akan mengampuni si Fulan? Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapuskan amalmu'!" (HR Muslim [2621]). 

Kandungan Bab:
  1. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Salah satu rahmat-Nya adalah, Dia mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya selama dosanya bukan dosa syirik, meski hamba itu belum bertaubat, sebagai bentuk karunia dan ihsan (kebaikan) dari-Nya. Kita tidak boleh mempertanyakan perbuatan Allah, namun sebaliknya para hambalah yang akan ditanyai tentang perbuatan mereka.
  2. Terperdaya dengan amal yang sudah dilakukan dapat menimbulkan pandangan negatif terhadap orang lain. Dari situ syaitan dapat menyeretnya untuk menghukumi orang lain sebagai penghuni Jahannam, lalu ia melontarkan sumpah sambil berkata: "Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si Fulan!" atau "Si Fulan tidak akan masuk Surga!" atau "Aku tidak ingin masuk ke dalam Surga yang dihuni oleh si Fulan!" Perkataan seperti ini dapat menghapus amal.
  3. Memutus harapan untuk mendapat rahmat Allah merupakan sebab orang itu bertambah larut dalam kemaksiatan. Karena menurut keyakinannya, pintu rahmat telah tertutup untuknya, akibatnya ia pun bertambah menyimpang dan bertambah nekad berbuat maksiat demi memuaskan nafsu syahwatnya sebelum ajal datang merenggutnya. Keyakinan seperti ini bisa jatuh dalam kekufuran, penjelasan lebih lanjut akan kami sebutkan dalam bab berikut, insya Allah.
  4. Setiap Muslim harus menjadi kunci pembuka kebaikan dan penutup kejahatan. Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang memiliki kriteria tersebut!
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 147-148.
 Image result for sumpah

Related Posts:

Larangan Berputus Asa

Allah berfirman (artinya), "Mereka menjawab, 'Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.' Ibrahim berkata, 'Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-Nya, kecuali orang-orang yang sesat'." (Al-Hijr: 55-56).  

Allah berfirman, "Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Yusuf: 87).
Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Abbas, bahwa ada seorang lelaki yang berkata: "Wahai Rasulullah, apa itu dosa besar?" Rasulullah saw. menjawab (artinya), 'Syirik kepada Allah, pesimis terhadap karunia Allah, dan berputus asa dari rahmat Allah'." (Hasan, HR Al-Bazzar [106/lihat Kasyful Atsaar], Thabrani dalam Al-Kabiir [8783, 8784 dan 8785], dan 'Abdurrazaq [19701]).
Kandungan Bab:
  1. Rahmah (kasih sayang) merupakan salah satu dari sifat Allah berdasarkan ketetapan Al-Qur'an dan As-Sunnah, sifat kasih sayang yang layak bagi Allah sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya.
  2. Pengaruh sifat ini dapat terlihat jelas di alam semesta, khususnya pada makhluk hidup. Nikmat dan karunia-Nya merupakan bukti keberadaan rahmat Allah yang Mahasempurna dan Mahaluas.
  3. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu dan menaungi semua makhluk. Tidak ada satu pun di alam semesta ini kecuali mendapat siraman rahmat Allah.
    Allah 'Azza wa jalla berfirman tentang para Malaikat pengangkat 'Arsy dan Malaikat-malaikat yang berada di sekelilingnya, "Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan Neraka yang menyala-menyala." (Al-Mukmin: 7).

    Allah berfirman, "Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami." (Al-A'raaf: 156).
  4. Oleh sebab itu, pintu rahmat Allah terbuka bagi orang-orang yang telah menganiaya diri mereka sendiri untuk bertaubat.
    Allah berfirman, "Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang'." (Az-Zumaar: 53).

    Dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah bersabda, "Sekiranya hamba Mukmin tahu siksa yang Allah siapkan di sisi-Nya, tentu tidak ada seorang pun yang berharap (optimis) bisa masuk Surga. Sekiranya orang kafir tahu rahmat yang Allah siapkan di sisi-Nya, tentu tidak seorang pun yang berputus asa (pesimis) masuk Surga-Nya."
  5. Oleh sebab itu, berputus asa dari rahmat Allah merupakan sifat orang-orang sesat dan pesimis terhadap karunia-Nya merupakan sifat orang-orang kafir. Karena mereka tidak mengetahui keluasan rahmat Rabbul 'Aalamiin. Siapa saja yang jatuh dalam perbuatan terlarang ini berarti ia telah memiliki sifat yang sama dengan mereka, laa haula wa laa quwwata illaa billaah.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 148-150. 

Image result for putus asa

Related Posts:

Larangan Sihir

Allah berfirman (artinya), "Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), namun syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang Malaikat di negeri Babil; yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, 'Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.' Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui." 
(Al-Baqarah: 102).  

Diriwayatkan dari Abu Hurairah (artinya), dari Rasulullah, beliau bersabda, "Jauhilah tujuh perkara muubiqaat (yang mendatangkan kebinasaan)." Para Sahabat bertanya, "Apa ketujuh perkara itu, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan syari'at, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita Mukminah yang terjaga dari perbuatan dosa dan tidak tahu-menahu dengannya." (HR Bukhari [2766] dan Muslim [89]). 

Diriwayatkan dari Abu 'Utsman an-Nahdi berkata (artinya), "Seorang tukang sihir memainkan sihirnya di hadapan Al-Walid bin 'Uqbah. Tukang sihir itu mengambil pedangnya dan menusukkannya ke tubuhnya, namun tidak melukainya. Lalu Jundab bangkit dan mengambil pedang itu lalu memenggal lehernya! Kemudian beliau membacakan sebuah ayat, 'Maka, apakah kamu menerima sihir ini, padahal kamu menyaksikannya'." (Al-Anbiyaa': 3). (HR Ad-Daruquthni [III/114], Baihaqi [VIII/136], Hakim [IV/361], Baihaqi [VIII/136], dan Tirmidzi [IV/60]). 

Diriwayatkan dari 'Amr bin Dinar, bahwa ia mendengar dari Bajalah berkata, "Umar bin Khaththab telah menetapkan perintah, yaitu, 'Bunuhlah tukang sihir laki-laki maupun perempuan.' Bajalah berkata, 'Kami pun melaksanakan hukuman mati terhadap tiga tukang sihir perempuan'." (Abu Dawud [3043], Ahmad [I/190-191], dan Baihaqi [VIII/136]). 

Kandungan Bab:
  1. Ayat dan hadits tersebut menegaskan, bahwasanya sihir itu memang ada. Dan, hakikat sihir itu benar-benar ada, sama seperti perkara-perkara lainnya. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
    1. Dalam surat al-Baqarah ayat 102 di atas, Allah menyebutkan bahwa ilmu sihir ini dipelajari manusia. Sihir itu dapat menimbulkan mudharat, di antaranya adalah dapat memisahkan antara sepasang suami isteri, lalu apakah kedua hal tersebut (yaitu dapat dipelajari dan dapat memisahkan sepasang suami isteri) hanyalah sebuah ilusi dan tipuan belaka ataukah benar-benar hakiki?! Jawabannya jelas hal itu benar-benar hakiki!
    2. Allah, -Dia-lah Pencipta segala sesuatu- telah memerintahkan kita agar berlindung kepada-Nya dari kejahatan tukang sihir. Allah berfirman, "Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul." (Al-Falaq: 4).
      Ayat ini merupakan bukti bahwa sihir itu benar-benar nyata. Pengaruhnya sangat jahat dan dapat menyakiti manusia dengan izin Allah. 

  2. Adanya sejumlah penegasan dari para ulama Rabbani ummat ini, bahwa sihir itu benar-benar ada, di antaranya:
    1. Al-Maziri berkata, "Mayoritas Ahlus Sunnah dan Jumhur Ulama menegaskan bahwa sihir itu memang benar nyata. Sihir memiliki hakikat, sebagaimana perkara-perkara nyata lainnya. Berbeda dengan orang-orang yang mengingkari hakikatnya dan menganggapnya sebagai halusinasi bathil yang tidak real. Allah telah menyebutkan sihir di dalam Al-Qur'an dan menggolongkannya sebagai ilmu yang dipelajari. Allah juga menyebutkan bahwa sihir merupakan perkara yang membuat (pelakunya) kafir dan pengaruhnya dapat memisahkan suami isteri. Semua itu tidaklah mungkin bila tidak real. Hadits dalam bab ini juga menegaskan bahwa sihir itu memang ada, dan ilmu sihir termasuk ilmu yang terkubur yang kemudian muncul kembali. Semua itu menyanggah perkataan orang-orang yang mengingkarinya. Dan menganggapnya tidak real adalah suatu perkara yang mustahil." (Dinukil oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahiih Muslim[IV/174] dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari [X/222-223]).
    2. Al-Khaththabi berkata, "Sejumlah pakar ilmu pengetahuan alam mengingkari adanya sihir dan menolak hakikatnya. Sementara sejumlah ahli kalam (kaum filsafat) menolak hadits ini. Mereka berkata, 'Sekiranya sihir dapat mempengaruhi Rasulullah., maka dikhawatirkan sihir juga mempengaruhi wahyu syari'at yang diturunkan kepada beliau. Itu artinya penyesatan ummat'!"
      Jawabanya, sihir memang benar ada dan hakikatnya juga ada. Sejumlah bangsa, seperti bangsa Arab, Persia, India, dan sejumlah bangsa-bangsa Romawi menegaskan adanya sihir. Mereka merupakan penduduk bumi yang pertama, yang paling banyak memiliki ilmu dan hikmat, Allah berfirman, "Mereka mengajarkan sihir kepada manusia." (Al-Baqarah: 102).

      Dan Allah memerintahkan kita agar berlindung kepada-Nya dari pengaruh sihir, Allah berfirman, "Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul." (Al-Falaq: 4).

      Telah dinukil secara shahih dari Rasulullah. beberapa hadits. Orang-orang yang mengingkarinya sama artinya dia mengingkari sesuatu yang terlihat nyata dan pasti adanya. Para ahli fiqih juga telah menyebutkan beberapa hukuman terhadap tukang sihir. Sesuatu yang tidak hakiki atau tidak real tentu tidak mencari kepopuleran dan kemasyhuran seperti ini. Menafikkan adanya sihir merupakan kejahilan, dan membantah orang yang menafikkannya adalah perbuatan sia-sia dan tak ada gunanya. (Al-Baghawi menukilnya dalam kitab Syarhus Sunnah [XII/187-188])
    3. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam kitab Badaai'ul Fawaa-id (II/227-228), "Firman Allah, Dan dari kejahatan-kejahatan dalam wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul." (Al-Falaq: 4).
      Dan hadits 'Aisyah yang tersebut di atas menetapkan adanya pengaruh sihir dan adanya hakikat sihir. Sebagian ahli kalam dari kalangan Mu'tazilah dan selainnya ada yang mengingkarinya. Mereka mengatakan, 'Sebenarnya pengaruh sihir itu tidak ada. Baik berupa penyakit, pembunuhan, kerasukan, keterpikatan dan pengaruh-pengaruh lain.' Menurut mereka, semua itu hanyalah halusinasi orang-orang yang melihatnya, bukan sesuatu yang real. Perkataan mereka ini jelas menyelisihi riwayat-riwayat yang mutawatir dari para Sahabat dan para Salaf serta kesepakatan para fuqaha', ahli tafsir, ahli hadits dan para pemerhati masalah hati dari kalangan ahli tasawwuf, serta seluruh orang-orang yang berakal sehat. 

      Pengaruh sihir itu bisa berupa sakit, perasaan berat, kerasukan, pembunuhan, perasaan cinta, perasaan benci, dan pengaruh-pengaruh lain yang terjadi pada diri manusia. Semua itu benar-benar ada dan diketahui oleh kebanyakan manusia. Dan kebanyakan mereka benar-benar dapat merasakan sihir itu. Allah berfirman, "Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul." (Al-Falaq: 4).

      Ayat di atas merupakan dalil bahwa an-Nafs (hembusan sihir) dapat mendatangkan kejelekan bagi yang disihir dari arah yang tidak ia ketahui. Seandainya kejahatan itu hanya bisa terjadi dengan kontak badan secara lahir -sebagaimana yang mereka katakan-, niscaya tidak perlu kita berlindung dari kejahatan sihir dan wanita-wanita tukang sihir itu. Dan juga kenyataannya, para tukang sihir itu mampu mengelabui pandangan orang-orang yang menyaksikan sihirnya, sedangkan jumlah mereka begitu banyak, hingga mereka menyaksikan sesuatu yang bukan sebenarnya dan seketika itu juga, imajinasi mereka menjadi berubah. Jadi, apa gerangan yang bisa merubah perangai, perkataan dan tabiat mereka? Apa bedanya antara perubahan yang real itu dengan perubahan sifat-sifat rohani dan jasmani lainnya? Jika ia merubah imajinasinya sehingga ia melihat orang yang diam menjadi bergerak, sesuatu yang bersambung menjadi terputus, orang yang mati menjadi hidup, maka apakah yang menyebabkannya berubah, sehingga orang yang dicintai menjadi dibenci, sebaliknya orang yang dibenci menjadi dicintai dan pengaruh-pengaruh lainnya. Allah telah berfirman tentang tukang sihir Fir'aun, "Mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan)." (Al-A'raaf: 116). 

      Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa pandangan mereka telah tersihir. Hal itu terjadi -mungkin- dengan merubah keadaan sesuatu yang mereka lihat, yakni tali-tali dan tongkat. Misalnya, tukang-tukang sihir itu meminta bantuan kepada ruh-ruh jahat dan syaitan-syaitan untuk menggerakkannnya. Hingga orang-orang yang menyaksikannya menyangka bahwa tali-tali dan tongkat itu bergerak dengan sendirinya. Demikian juga -misalnya- makhluk yang tak terlihat pandangan mata itu menyeret tikar atau permadani, niscaya tikar dan permadani itu akan tampak bergerak dengan sendirinya tanpa ada yang menggerakkannya. Padahal syaitanlah yang menggerakkannya. Maka seperti itulah yang sebenarnya terjadi. Syaitan-syaitan telah merubah tali dan tingkat itu menjadi seperti ular. Orang yang menyaksikannya mengira bahwa benda itu berubah dengan sendirinya. Padahal sebenarnya syaitanlah yang merubahnya. Dan bisa juga hal ini terjadi karena sihir itu telah mengubah keadaan orang-orang yang menyaksikan, padahal sebenarnya benda-benda itu diam. Maka tidak dapat diragukan lagi bahwa tukang-tukang sihir itu benar-benar melakukan hal-hal tersebut. 

      Adakalanya dengan mempengaruhi imajinasi orang-orang yang melihatnya, sehingga mereka menyaksikan sesuatu yang bukan sebenarnya. Adakalanya dengan mengubah benda-benda yang dilihat dengan bantuan ruh-ruh jahat atau syaitan. Adapun ucapan orang-orang yang mengingkari adanya pengaruh sihir, yang mengatakan bahwa para penyihir itu membuat tali-tali dan tongkat itu bisa bergerak sebagaimana bergeraknya air raksa (mampu bergerak dengan sendirinya), jelas merupakan perkataan 

      Allah berfirman, "Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka." (Thaahaa: 66).
      Sekiranya gerakan itu adalah gerakan tipuan, sebagaimana yang disebutkan oleh orang-orang yang mengingkari, tentu tidaklah termasuk sihir. Hal seperti ini tentu tidak samar lagi. Dan juga sekiranya hal itu sebuah tipuan, seperti kata mereka, tentu cara menangkalnya adalah dengan mengeluarkan air raksa yang ada di dalamnya dan menjelaskan hakikat tipuan tersebut. Tentu tidak perlu melemparkan tongkat untuk menelannya. Dan tipuan seperti ini tentu tidak perlu menangkalnya dengan bantuan para tukang sihir. Tapi cukup dengan bantuan para ahli teknologi. Dan tentunya Fir'aun tidak perlu mengagungkan para penyihir itu dan tunduk kepada mereka. Fir'aun menjanjikan kedudukan yang tinggi dan balasan yang besar bagi mereka. Tentunya tidak akan dikatakan: "Sesungguhnya ia merupakan pemimpin kalian yang mengajarkan sihir kepada kalian." 

      Sebab, teknologi juga dikuasai orang lain dalam mempelajari dan mengajarkannya. Wal hasil perkataan mereka itu sudah sangat jelas kebathilannya, tidak begitu susah untuk membantahnya. Sekarang, mari kita kembali kepada inti pembicaraan.
  3. Dari situ jelaslah bahwa sishir merupakan kejahatan, membawa mudharat dan berbahaya. Oleh sebab itu syari'at menjelaskan keharamannya dan bertindak tegas atas pelakunya dan menjadikannya sebagai perbuatan yang setara dengan syirik. Sebab, syaitan tidak akan membantu tukang sihir, itu sehingga mereka kafir kepada Allah Azza wa Jalla. Telah dinukil dari sejumlah tukang sihir beberapa amalan yang keji dan perbuatan yang kufur. Salah seorang dari mereka meletakkan lembaran mushaf Al-Qur'an di bawah tikar agar dapat dipijaknya dengan kakinya dan ada pula yang menggunakannya sebagai tissu untuk istinja' wal'iyadzu billaah.
    Berdasarkan hal tersebut, bila engkau telah mengetahui haramnya sihir, walau apapun motivasi atau argumennya, dengan demikian batallah anggapan sebagian ahli fiqih yang mengatakan, "Pelajarilah sihir, namun jangan diamalkan!" atau perkataan, "Pelajarilah sihir untuk menolak sihir!" dan beberapa perkataan lainnya yang dapat menyebabkan jatuhnya celaan atas orang yang mengucapkannya dan dapat menjadi penyesalan baginya di hari Kiamat.
  4. Barang siapa didapati melakukan praktek sihir maka hukumnya kafir dan hukumannya adalah dibunuh sebagaimana yang diamalkan oleh Jundab bin 'Abdillah dan diperintahkan oleh 'Umar bin al-Khaththab rodhiyallahu anhuma, serta telah dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Demikian pula telah dinukil secara shahih dari Hafshah binti 'Umar, Ummul Mukminin, bahwa ia telah membunuh seorang perempuan tukang sihir yang telah menyihirnya dan mengaku telah melakukan sihir. Ini merupakan kesepakatan para sahabat radhiyallahu anhum. Dan kesepakatan ini tidak bisa ditolak dengan perkataan sebagian ahli ilmu, "Sesungguhnya Rasulullah saw tidak membunuh Labib bin al-A'sham al-Yahudi yang telah menyihir beliau."
    Para ulama memberikan jawaban sebagai berikut:
    1. Rasulullah. tidak membalas kejahatan yang ditujukan terhadap diri pribadi beliau, sebagaimana halnya beliau tidak membunuh wanita yang telah meletakkan racun pada daging kambing, lalu ia menyodorkannya kepada beliau.
    2. Rasulullah khawatir apabila beliau membunuhnya, maka akan terjadi persengketaan antara kaum Muslimin dengan kaum Anshar. Hal tersebut sama seperti sikap beliau yang tidak membunuh kaum munafik. Rasulullah saw telah menegaskannya: "Adapun aku, Allah telah memberikan kesembuhan dan kesehatan untuk diriku, dan aku khawatir akan menimbulkan persengketaan di antara manusia."
      Sekarang ini, muncul sihir yang dibungkus dengan nama agama dan tashawwuf. Yaitu yang dilakukan oleh Tarikat Rifa'iyyah (dan lainnya) dengan menusuk diri mereka dengan besi atau pedang, masuk ke dalam api dan sejenisnya.

      Guru kami, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata dalam kitab Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha'iifah (III/642-643) "Contoh tukang sihir yang pantas dihukum bunuh adalah para pengikut tarikat yang menampakkan seolah-olah mereka termasuk wali Allah, mereka menusuk tubuh mereka dengan pedang atau besi. Sebagian dari perbuatan mereka itu hanyalah tipuan, bukan sebenarnya dan sebagian lagi hasil latihan dan percobaan. Setiap orang, baik Mukmin atau kafir, bisa saja melakukan latihan rutin dan memiliki kemauan hati yang kuat. Di antaranya adalah menyentuh api dengan mulut atau tangan mereka, atau masukke dalam tungku api.

      Aku memilki sebuah pengalaman menarik di Halab dengan salah sorang dari mereka. Ia mengaku termasuk salah seorang yang mampu melakukannya. Katanya ia bisa menusuk tubuhnya dengan besi dan memegang bara api. Aku menasihatinya agar meninggalkan hal tersebut dan menjelaskan hakikat yang sebenarnya. Dan aku mengancamnya akan menyulut dirinya dengan api bilaia tidak taubat dari omong-kosongnya itu. Namun, ia tidak mau bertaubat. Maka akupun bangkit dan menggertaknya dengan mendekatkan api ke sorbannya. Namun, ia masih tetap bersikeras mempertahankan prinsipnya. Aku pun membakar sorbannnya sementara ia menyaksikannya. Kemudian ia berusaha memadamkan api tersebut karena khawatir akan membakar dirinya!

      Menurutku, seandainya Jundab ra melihat orang-orang seperti ini, tentu telah menebasnya dengan pedang sebagaimana yang ia lakukan terhadap seorang tukang sihir! 'Dan sesungguhnya, adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.' (Thaahaa: 127).
  5. Pengobatan dari pengaruh sihir telah disebutkan oleh Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah dalam kitab Zaadul Ma'aad (IV/124-125): Pertama, inilah obat yang paling mujarab, yaitu dengan mengeluarkan dan memberanguskan sihir itu sebagaimana yang telah dinukil secara shahih dari Rasulullah bahwa beliau memohon kepada Allah  agar ditunjukkan tempatnya. Lalu Allah menunjukkan tempatnya. Kemudian sihir itu dikeluarkan dari sebuah sumur, ternyata didapati sebuah sisir dan secarik kertas kering berisi jambi-jampi sihir. Ketiak benda-benda itu dikeluarkan, hilanglah pengaruh sihir dari diri beliau, hingga beliau lebih bergairah dari biasanya. Ini adalah cara yang paling mujarab. Sama halnya dengan menghilangkan dan mencabut benda-benda busuk dari dalam tubuh.
    Kedua, menghilangkan pengaruh sihir dari anggota tubuh yang terkena. Sihir dapat memberikan pengaruh pada tabi'at si penderita, mental dan psikologisnya. Jika pengaruhnya terlihat pada anggota tubuh, mka menghilangkan dan mencabut benda-benda sihir dari anggota tubuh tersebut sangat manjur sekali.

    Kemudian, beliau melanjutkan (IV/126-127), "Salah satu pengobatan yang mujarab adalah melalui pengobatan ilahiyyah. Ini merupakan cara pengobatan yang paling manjur. Sebab sihir merupakan pengaruh ruh-ruh jahat. Menolak pengaruhnya adalah dengan melawan dan menghadapinya melalui bacaan dzikir, ayat-ayat, dan do'a-do'a yang dapat menangkalnya dan menolak pengaruhnya. Semakin kuat dan hebat pengaruh sihir itu, semakin kuat pula ruqyah yang dibacakan. Seperti dua pasukan yang sudah saling berhadapan, masing-masing membawa perlengkapan dan senjata. Siapa yang dapat mengalahkan lawannya, maka dialah yang berkuasa. Apabila hati telah terisi dengan dzikrullah, terarah kepada-Nya, terisi do'a dan dzikir serta ta'awwudz, satu irama antara hati dan lisannya, maka itu semua merupakan faktor-faktor yang dapat melindungi dirinya dari pengaruh sihir dan merupakan pengobatan yang paling manjur bila dirinya terkena pengaruh sihir. 

    Tukang-tukang sihir itu hanya dapat memperngaruhi hati yang lemah dan labil, jiwa yang penuh syahwat dan mudah tergoda dengan perkara-perkara terlarang. Oleh sebab itu biasanya yang terkena pengaruh sihir ini adalah kaum wanita, anak-anak, orang jahil, orang-orang badui, orang yang lemah agamanya, lemah tawakkal dan tauhidnya serta orang-orang yang tidak pernah berdzikir, berdo'a dan berta'awwwudz.
    Kesimpulannya, sihir hanya dapat mempengaruhi hati yang lemah dan labil, yakni hati yang condong kepada perkara keji. Orang-orang mengatakan, "Orang-orang yang terkena sihir itu sebenarnya dapat menghilangkannya sendiri. Barangkali hatinya terpaut kepada sesuatu dan terus terkait kepadanya. Kemudian sesuatu itu mendominasi hatinya sehingga selalu condong dan terkait kepadanya. Ruh-ruh jahat sebenarnya hanya dapat menguasai ruh yang dapat dikendalikannya karena memiliki kecondongan kepada hal yang sama dengannya. Dan karena ruh tersebut kosong dari kekuatan Ilahiyyah dan tidak mempunyai persiapan untuk melawannya. Ruh-ruh jahat itu mendapati ruh tersebut kosong tanpa memiliki alat untuk melawan sedikit pun. Ditambah lagi ruh tersebut condong kepada perkara-perkara yang disukai oleh ruhh-ruh jahat itu. Maka, ruh-ruh jahat itu pun menguasainya. Dan memasukkan pengaruh-pengaruh sihir atau pengaruh lain kepadanya! Wallaahu'alam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 151-160.

Image result for sihir

Related Posts:

Larangan Berbisik-Bisik

Allah berfirman, “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syaitan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal,” (Al-Mujadilah: 10).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar , bahwasanya Rasulullah  bersabda, “Apabila mereka tiga maka janganlah dua berbisik-bisik tanpa melibatkan yang ketiga,” (HR Bukhari [6288] dan Muslim [2183]).
Diriwayatkan dari Abdullan bin Mas’ud, ia berkata, Nabi  bersabda, “Apabila kamu sedang bertiga maka janganlah dua orang berbisik tanpa menyertakan yang ketiga hingga mereka berbaur dengan orang ramai, karena hal itu dapat membuatnya sedih,” (HR Bukhari [6290]).
Hadits lain yang termasuk dalam bab ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah 
Kandungan Bab:
  1. Berbicara tentang dosa dan permusuhan dengan berbisik secara mutlak hukumnya haram berdasarkan firman Allah , “Apakah tidak kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu. Dan mereka mengatakan kepada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan berbuat durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan,” (Al-Mujaadilah: 8-9).
  2. Berbisik-bisik yang dilakukan dua orang tanpa mengikut sertakan orang ketika hukumnya haram, sebab dapat menyakiti dan membuat orang ketiga tersebut menjadi sedih. Hukum haram ini tercantum dalam al-Qur’an dengan jelas, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata,”(Al-Ahzaab: 58).
  3. Jika yang hadir lebih dari tiga orang maka dibolehkan dua orang berbisik dengan syarat tidak berbisik tentang dosa dan permusuhan. Tambahan yang menunjukkan tentang hal ini telah tercantum dalam beberapa dalil.
    Abu Shalih berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Umar, “Bagaimana jika empat orang?” Ia menjawab, “Tidak mengapa,” (Shahih, HR Abu Dawud [4852]).
    Diriwayatkan dari Abdullah bin Dinnar, ia berkata, “Aku dan Ibnu Umar pernah singgah di rumah Khalid bin Uqbah yang letaknya di pasar. Lalu datanglah seseorang ingin berbicara rahasia dengan Ibnu Umar. Ia memanggil orang lain sehingga jumlah kami menjadi empat orang kemudian ia berkata kepadaku dan kepada lelaki yang ia panggil tadi, ‘Cobalah kamu berdua agak sedikit menjauh sebab aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Janganlah dua orang berbisik tanpa mengikutkan serta satu orang’,” (Shahih, HR Ibnu Hibban [582]).
    Imam Bukhari berkata dalam kitab Fathul Baari (XI/82) bab “Jika ada empat orang tidak mengapa berbisik atau berbicara rahasia.”
    Al-Baghawi berkata (XIII/91), “Tidak syak lagi bahwa hal ini merupakan bukti dibolehkannya berbisik di tempat orang banyak. Allahu a’lam.”
  4. Berbisik dua orang tanpa mengikut sertakan orang ketiga dibolehkan pada dua keadaan: jika orang ketiga memberi izin dan jika bersama orang banyak.
  5. Sebagian ulama mengambil kesimpulan hukum dari hadits ini, bahwa tidak dibolehkan tiga orang atau sepuluh orang berbisik tanpa mengikut sertakan satu orang. Sebab dilarang mengasingkan satu orang dalam pembicaraan. Sekelompok orang tidak mengikut sertakan satu orang sama hukumnya dengan dua orang berbisik dengan tidak mengikutkan satu orang. Ini pendapat yang bagus.
  6. Tidak boleh seseroang ikut nimbrung ketika dua orang sedang berbicara rahasia.
  7. Sebagian ulama mengartikan hadits yang tercantum dalam bab ini jika berada dalam perjalanan. Pendapat ini merupakan pengambilan dan pengkhususan tanpa berdasarkan dalil. Sebab zhahir hadits tidak seperti itu dan penyebab diharamkannya tidak berubah baik ketika berada dalam perjalanan maupun ketika berada di tempat. Oleh karena itu, larangan ini mencakup ketika safar dan ketika berada di tempat. Allahu a’lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/330-331.

Image result for berbisik

Related Posts:

Larangan Minum Langsung dari Mulut Tempat Air Minum

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah telah melarang menenggak air dari mulut bejana,” (HR Bukhari [5625] dan Muslim [2023]).
Diriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata, “Maukah kalian aku beritahukan beberapa hal yang terlarang yang telah diceritakan oleh Abu Hurairah kepada kami? Rasulullah saw. telah melarang minum langsung dari mulut timba atau kantung air dan tidak mengizinkan tetangga untuk menyandarkan kayu di rumahnya,” (HR Bukhari [5627]).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Nabi melarang minum langsung dari mulut kantung air,” (HR Bukhari [5629]).
Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Dilarang minum langsung dari mulut kantung air karena dapat membuatnya bau,” (Shahih, HR al-Hakim [IV/140]).
Kandungan Bab:
  1. Dilarang minum langsung dari mulut kantung air dan syariat menyebut beberapa sebab:
    1. Khawati akan merubah bau air dan tempatnya sehingga timbul rasa jijik yang akhirnya air tersebut dibuang. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits Aisyah yang berbunyi, ‘Karena dapat membuatnya bau.” 
    2. Dikhawatirkan ada hewan yang masuk ke dalam tempat minum tersebut, sepertiular sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah dengan sanad yang marfu’, “Dilarang minum langsung dari mulut kantung air.” Ayyub berkata, “Diceritakan kepada kami bahwa seseorang minum langsung dari kantung air lantas keluar seekor ular dari kantung tersebut,” (Shahih, HR Ahmad [IV/230]). 
    3. Orang yang minum dengan cara seperti ini menjadikan air yang keluar dari kantung air itu terlalu banyak tercurah melebihi kebutuhannya dan membuatnya tersedak. 
  2. Larangan ini menunjukkan hukum pengharaman. Ditinjau dari beberapa hal di atas dapat menguatkan bahwa larangan ini menunjukkan pengharaman.
    Al-Hafidz berkata dalam Fathul Bari (X/91), “An-Nawawi berkata, ‘Para ulama sepakat bahwa larangan di sini menunjukkan makruh bukan haram.’ Demikianlah yang ia katakan.”
    Perkataan an-Nawawi yang menyatakan kesepakatan para ulama di sini masih perlu diteliti kembali.
    An-Nawawi juga berkata, “Untuk lebih menguatkan bahwa hukumnya makruh ialah adanya hadits-hadits yang memberikan keringanan untuk melakukannya.”
    Saya katakan (Ibnu Hajar), “Aku tidak pernah melihat adanya hadits-hadits yang bersanad marfu’ menunjukkan bolehnya minum langsung dari mulut kantung air kecuali dari perbuatan Nabi sementara hadits yang melarang semuanya berasal dari ucapan beliau yang tentunya lebih kuat jika kita lihat dari sebab dilarangnya perbuatan tersebut. Semua yang telah disebutkan oleh para ulama tentang sebab, tentunya Rasulullah terpelihara dari hal itu, karena ia seorang maksum, berakhlak mulia dan hati-hati ketika beliau menuangkan air dan sifat lain yang tidak dimiliki oleh orang lain.
    Menurut kaidah fikih dari keseluruhan perkaran ini berada di sekitar hukum makruh dan haram. Dan kaidah lebih merajihkan pendapat yang mengatakan haram.” 
  3. Larangan ini khusus bagi yang minum langsung ke mulut tempat air. Adapun bagi yang menuangkannya ke gelas lalu ia minum tidak termasuk larangan. 
  4. Hadits shahih yang isinya Rasulullah pernah minum langsung dari mulut kantung air, seperti hadits Ummu Tsabit bnti Tsabit  berkata, “Rasulullah masuk ke rumahku lalu sambil berdiri berdiri minum langsung dari mulut kantung air yang tergantung. Lantas aku berdiri ke mulut kantung tersebut dan memotong talinya,” (Shahih, HR at-Tirmidzi [1892] dan Ibnu Majah [2423]).
    Apabila dilihat dari sisi hadit Ummu Tsaabit di atas tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang melarang:
    1. Hadits-hadits yang melarang adalah hadits ucapan Rasulullah dan hadits-hadits yang berisikan dispensasi adalah hadits perbuatan Rasulullah Hadits qauliyah lebih didahulukan daripada hadits fi’liyah. 
    2. Semua hadits yang menyebutkan pembolehkan berkaitan dengan kantung air yang tergantung. Untuk ini ada hukum khusus dari kantung air lainnya. Karena hadits tersebut adalah dalil pembolehan untuk kantung air tergantung saja bukan pembolehan secara mutlak. Jadi pembolehan tersebut harus dipahami untuk kondisi yang darurat saja agar hadits larangan dan hadits pembolehan dapat dikompromikan. 
  5. Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa hadits larangan dihapus oleh hadit pembolehan adalah pendapat yang marjuh. Karena tahap penghapusan hukum tidak boleh dilakukan jika ada beberapa kemungkinan. Adapun kedua khabar tersebut dapat dikompromikan, maka tidak perlu masuk pada tahap penghapusan.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/166-169.

Image result for minum

Related Posts:

Larangan Memaksa Orang Sakit Untuk Makan dan Minum

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, ia berkata, “Rasulullah bersabda, 
“Jangan kamu paksa orang sakit untuk makan, sebab Allah-lah yang memberi mereka makan dan minum,” 
(HR at-Tirmidzi [2040]).
Kandungan Bab:
  1. Larangan memaksa orang sakit untuk makan dan minum karena ia tidak ada selera makan. Karena orang yang sakit kehilangan selera makan dan minum. Dan kesehatan adalah faktor yang membuat seorang berselera terhadap makanan dan minuman.
  2. Ibnu Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’aad (IV/90), “Beberapa dokter ahli berkata, ‘Sungguh banya sekali faedah dalam sabda Nabi saw. ini yang mengandung hikmah-hikmah ilahi. Hal ini dapat dirasakan terutama oleh para ahli medis dan orang yang mengobati para pasien. Orang sakit sedang kehilangan selera makan dan minum. Ini dikarenakan tabi’atnya sedang sibuk melawan perasaan sakit atau disebabkan anjlok dan berkurangnya nafsu akibat lemah atau hilang semangat jiwanya. Bagaimanapun kondisi orang sakit, tidak dibolehkan memberinya makanan dalam dalam keadaan seperti itu’.”
  3. Diantara petunjuk Nabi dalam bab ini ialah dengan memberikan makanan yang lembek dan matang bukan yang keras dan mentah, sebab lebih gampang ditelan dan mudah dicerna. Contohnya masakan talbinah, yakni bubur hisaa’ yang terbuat dari campuran susu dan kebanyakan dibuat dari campuran tepung gandum kasar atau dari tepung gandum halus dan terkadang diberi campuran madu. Untuk itu Rasulullah bersabda, “Talbinah berkhasiat mengembalikan semangat orang sakit dan menghilangkan sebagian kesedihan,” (HR Bukhari Muslim [5417] dan Muslim [2216]).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/199-200.
Related image

Related Posts: