Larangan Berbisik-Bisik

Allah berfirman, “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syaitan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal,” (Al-Mujadilah: 10).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar , bahwasanya Rasulullah  bersabda, “Apabila mereka tiga maka janganlah dua berbisik-bisik tanpa melibatkan yang ketiga,” (HR Bukhari [6288] dan Muslim [2183]).
Diriwayatkan dari Abdullan bin Mas’ud, ia berkata, Nabi  bersabda, “Apabila kamu sedang bertiga maka janganlah dua orang berbisik tanpa menyertakan yang ketiga hingga mereka berbaur dengan orang ramai, karena hal itu dapat membuatnya sedih,” (HR Bukhari [6290]).
Hadits lain yang termasuk dalam bab ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah 
Kandungan Bab:
  1. Berbicara tentang dosa dan permusuhan dengan berbisik secara mutlak hukumnya haram berdasarkan firman Allah , “Apakah tidak kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu. Dan mereka mengatakan kepada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan berbuat durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan,” (Al-Mujaadilah: 8-9).
  2. Berbisik-bisik yang dilakukan dua orang tanpa mengikut sertakan orang ketika hukumnya haram, sebab dapat menyakiti dan membuat orang ketiga tersebut menjadi sedih. Hukum haram ini tercantum dalam al-Qur’an dengan jelas, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata,”(Al-Ahzaab: 58).
  3. Jika yang hadir lebih dari tiga orang maka dibolehkan dua orang berbisik dengan syarat tidak berbisik tentang dosa dan permusuhan. Tambahan yang menunjukkan tentang hal ini telah tercantum dalam beberapa dalil.
    Abu Shalih berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Umar, “Bagaimana jika empat orang?” Ia menjawab, “Tidak mengapa,” (Shahih, HR Abu Dawud [4852]).
    Diriwayatkan dari Abdullah bin Dinnar, ia berkata, “Aku dan Ibnu Umar pernah singgah di rumah Khalid bin Uqbah yang letaknya di pasar. Lalu datanglah seseorang ingin berbicara rahasia dengan Ibnu Umar. Ia memanggil orang lain sehingga jumlah kami menjadi empat orang kemudian ia berkata kepadaku dan kepada lelaki yang ia panggil tadi, ‘Cobalah kamu berdua agak sedikit menjauh sebab aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Janganlah dua orang berbisik tanpa mengikutkan serta satu orang’,” (Shahih, HR Ibnu Hibban [582]).
    Imam Bukhari berkata dalam kitab Fathul Baari (XI/82) bab “Jika ada empat orang tidak mengapa berbisik atau berbicara rahasia.”
    Al-Baghawi berkata (XIII/91), “Tidak syak lagi bahwa hal ini merupakan bukti dibolehkannya berbisik di tempat orang banyak. Allahu a’lam.”
  4. Berbisik dua orang tanpa mengikut sertakan orang ketiga dibolehkan pada dua keadaan: jika orang ketiga memberi izin dan jika bersama orang banyak.
  5. Sebagian ulama mengambil kesimpulan hukum dari hadits ini, bahwa tidak dibolehkan tiga orang atau sepuluh orang berbisik tanpa mengikut sertakan satu orang. Sebab dilarang mengasingkan satu orang dalam pembicaraan. Sekelompok orang tidak mengikut sertakan satu orang sama hukumnya dengan dua orang berbisik dengan tidak mengikutkan satu orang. Ini pendapat yang bagus.
  6. Tidak boleh seseroang ikut nimbrung ketika dua orang sedang berbicara rahasia.
  7. Sebagian ulama mengartikan hadits yang tercantum dalam bab ini jika berada dalam perjalanan. Pendapat ini merupakan pengambilan dan pengkhususan tanpa berdasarkan dalil. Sebab zhahir hadits tidak seperti itu dan penyebab diharamkannya tidak berubah baik ketika berada dalam perjalanan maupun ketika berada di tempat. Oleh karena itu, larangan ini mencakup ketika safar dan ketika berada di tempat. Allahu a’lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/330-331.

Image result for berbisik

Related Posts:

Larangan Minum Langsung dari Mulut Tempat Air Minum

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah telah melarang menenggak air dari mulut bejana,” (HR Bukhari [5625] dan Muslim [2023]).
Diriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata, “Maukah kalian aku beritahukan beberapa hal yang terlarang yang telah diceritakan oleh Abu Hurairah kepada kami? Rasulullah saw. telah melarang minum langsung dari mulut timba atau kantung air dan tidak mengizinkan tetangga untuk menyandarkan kayu di rumahnya,” (HR Bukhari [5627]).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Nabi melarang minum langsung dari mulut kantung air,” (HR Bukhari [5629]).
Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Dilarang minum langsung dari mulut kantung air karena dapat membuatnya bau,” (Shahih, HR al-Hakim [IV/140]).
Kandungan Bab:
  1. Dilarang minum langsung dari mulut kantung air dan syariat menyebut beberapa sebab:
    1. Khawati akan merubah bau air dan tempatnya sehingga timbul rasa jijik yang akhirnya air tersebut dibuang. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits Aisyah yang berbunyi, ‘Karena dapat membuatnya bau.” 
    2. Dikhawatirkan ada hewan yang masuk ke dalam tempat minum tersebut, sepertiular sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah dengan sanad yang marfu’, “Dilarang minum langsung dari mulut kantung air.” Ayyub berkata, “Diceritakan kepada kami bahwa seseorang minum langsung dari kantung air lantas keluar seekor ular dari kantung tersebut,” (Shahih, HR Ahmad [IV/230]). 
    3. Orang yang minum dengan cara seperti ini menjadikan air yang keluar dari kantung air itu terlalu banyak tercurah melebihi kebutuhannya dan membuatnya tersedak. 
  2. Larangan ini menunjukkan hukum pengharaman. Ditinjau dari beberapa hal di atas dapat menguatkan bahwa larangan ini menunjukkan pengharaman.
    Al-Hafidz berkata dalam Fathul Bari (X/91), “An-Nawawi berkata, ‘Para ulama sepakat bahwa larangan di sini menunjukkan makruh bukan haram.’ Demikianlah yang ia katakan.”
    Perkataan an-Nawawi yang menyatakan kesepakatan para ulama di sini masih perlu diteliti kembali.
    An-Nawawi juga berkata, “Untuk lebih menguatkan bahwa hukumnya makruh ialah adanya hadits-hadits yang memberikan keringanan untuk melakukannya.”
    Saya katakan (Ibnu Hajar), “Aku tidak pernah melihat adanya hadits-hadits yang bersanad marfu’ menunjukkan bolehnya minum langsung dari mulut kantung air kecuali dari perbuatan Nabi sementara hadits yang melarang semuanya berasal dari ucapan beliau yang tentunya lebih kuat jika kita lihat dari sebab dilarangnya perbuatan tersebut. Semua yang telah disebutkan oleh para ulama tentang sebab, tentunya Rasulullah terpelihara dari hal itu, karena ia seorang maksum, berakhlak mulia dan hati-hati ketika beliau menuangkan air dan sifat lain yang tidak dimiliki oleh orang lain.
    Menurut kaidah fikih dari keseluruhan perkaran ini berada di sekitar hukum makruh dan haram. Dan kaidah lebih merajihkan pendapat yang mengatakan haram.” 
  3. Larangan ini khusus bagi yang minum langsung ke mulut tempat air. Adapun bagi yang menuangkannya ke gelas lalu ia minum tidak termasuk larangan. 
  4. Hadits shahih yang isinya Rasulullah pernah minum langsung dari mulut kantung air, seperti hadits Ummu Tsabit bnti Tsabit  berkata, “Rasulullah masuk ke rumahku lalu sambil berdiri berdiri minum langsung dari mulut kantung air yang tergantung. Lantas aku berdiri ke mulut kantung tersebut dan memotong talinya,” (Shahih, HR at-Tirmidzi [1892] dan Ibnu Majah [2423]).
    Apabila dilihat dari sisi hadit Ummu Tsaabit di atas tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang melarang:
    1. Hadits-hadits yang melarang adalah hadits ucapan Rasulullah dan hadits-hadits yang berisikan dispensasi adalah hadits perbuatan Rasulullah Hadits qauliyah lebih didahulukan daripada hadits fi’liyah. 
    2. Semua hadits yang menyebutkan pembolehkan berkaitan dengan kantung air yang tergantung. Untuk ini ada hukum khusus dari kantung air lainnya. Karena hadits tersebut adalah dalil pembolehan untuk kantung air tergantung saja bukan pembolehan secara mutlak. Jadi pembolehan tersebut harus dipahami untuk kondisi yang darurat saja agar hadits larangan dan hadits pembolehan dapat dikompromikan. 
  5. Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa hadits larangan dihapus oleh hadit pembolehan adalah pendapat yang marjuh. Karena tahap penghapusan hukum tidak boleh dilakukan jika ada beberapa kemungkinan. Adapun kedua khabar tersebut dapat dikompromikan, maka tidak perlu masuk pada tahap penghapusan.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/166-169.

Image result for minum

Related Posts:

Larangan Memaksa Orang Sakit Untuk Makan dan Minum

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, ia berkata, “Rasulullah bersabda, 
“Jangan kamu paksa orang sakit untuk makan, sebab Allah-lah yang memberi mereka makan dan minum,” 
(HR at-Tirmidzi [2040]).
Kandungan Bab:
  1. Larangan memaksa orang sakit untuk makan dan minum karena ia tidak ada selera makan. Karena orang yang sakit kehilangan selera makan dan minum. Dan kesehatan adalah faktor yang membuat seorang berselera terhadap makanan dan minuman.
  2. Ibnu Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’aad (IV/90), “Beberapa dokter ahli berkata, ‘Sungguh banya sekali faedah dalam sabda Nabi saw. ini yang mengandung hikmah-hikmah ilahi. Hal ini dapat dirasakan terutama oleh para ahli medis dan orang yang mengobati para pasien. Orang sakit sedang kehilangan selera makan dan minum. Ini dikarenakan tabi’atnya sedang sibuk melawan perasaan sakit atau disebabkan anjlok dan berkurangnya nafsu akibat lemah atau hilang semangat jiwanya. Bagaimanapun kondisi orang sakit, tidak dibolehkan memberinya makanan dalam dalam keadaan seperti itu’.”
  3. Diantara petunjuk Nabi dalam bab ini ialah dengan memberikan makanan yang lembek dan matang bukan yang keras dan mentah, sebab lebih gampang ditelan dan mudah dicerna. Contohnya masakan talbinah, yakni bubur hisaa’ yang terbuat dari campuran susu dan kebanyakan dibuat dari campuran tepung gandum kasar atau dari tepung gandum halus dan terkadang diberi campuran madu. Untuk itu Rasulullah bersabda, “Talbinah berkhasiat mengembalikan semangat orang sakit dan menghilangkan sebagian kesedihan,” (HR Bukhari Muslim [5417] dan Muslim [2216]).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/199-200.
Related image

Related Posts:

Larangan Mendekati Penyakit Kusta

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , bahwasanya Nabi  bersabda, 
“Jangan kamu terus menerus melihat orang yang menghidap penyakit kusta,” 
(Shahih lighairihi, HR Ibnu Majah [3543] dan Ahmad [I/233]).



Dan Sabda beliau,


فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ

“Larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa” [HR. Muslim: 5380]
Kandungan Bab:
  1. Kusta ialah penyakit yang menyebar ke seluruh tubuh dan dapat merusak anggota badan bahkan dapat menggerogoti anggota badan tersebut.

  2. Larangan bergaul dengan pengidap penyakit kusta dan terus menerus melihatnya. Berdasarkan hadits-hadits shahih dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw. bersabda, “Dan menghindarlah dari pengidap penyakit kusta seperti kamu menghindar dari harimau.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/200-201.

Image result for kusta

Related Posts: