Larangan Mengambil Khamr Sebagai Obat

Diriwayatkan dari Thariq bin Suwaid al-Ju’afi , ia bertanya kepada Nabi tentang hukum khamr. Beliau melarang khamr atau benci membuatnya. Lalu Thariq berkata, “Aku membuatnya untuk obat.” Beliau menjawab, “Khamr itu bukan obat tapi penyakit,” (HR Muslim [1984]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah  telah melarang menjadikan benda-benda kotor sebagai obat,” (Shahih, HR Abu Dawud [3870], at-Tirmidzi [2045] dan Ibnu Majah [3459]).
Diriwayatkan dari Abu al-Ahwash, bahwasanya seorang lelaki datang kepada Abdullah seraya berkata, “Saudaraku sedang menderita sakit perut dan ia dianjurkan untuk minum khamr. Apakah aku boleh memberikannya?” Abdullah berkata, “Subhanallah! Allah tidak menjadikan kesembuhan itu dari benda najis. Sesungguhnya kesembuhan ada pada dua benda, madu adalah obat penyembuh bagi manusia dan al-Qur’an adalah penyembuh apa yang ada di dalam dada,” (HR Bukhari [X/78]).
Kandungan Bab:
  1. Haram menjadikan khamr, induk segala kotoran sebagai obat. Sebab khamr itu penyakit bukan penawar penyakit dan tidak boleh dikatakan hukumnya dharurat. Sebab Allah telah mengharamkan khamr dan tidak menyebutkan adanya hukum dharurat. Berbeda dengan bangkai dan sejenisnya yang dihalalkan ketika dharurat. Sebab manusia punya alternatif obat lain dan dia tidak dapat memastikan khamr sebagai obat itu. 
  2. Ibnu Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’aad (IV/157), “Seandainya kita mengatakan bahwa induk segala kotoran yang Allah tidak menjadikan kesembuhan sama sekali di dalamnya itu, sesungguhnya khamr itu sendiri sangat membahayakan otak yang merupakan pusat akal pikiran menurut para dokter, fuqaha dan kaum mutakallimin.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/201-202.
Image result for khamr

Related Posts:

Larangan Melakukan Pengobatan dengan Benda-Benda Haram

Diriwayatkan dari Abu Darda’ , ia berkata, “Rasulullah  bersabda, ‘Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram’,”(Hasan, HR Abu Dawud [3874]).
Diriwayatkan dari Ummu Salamah , ia berkata, “Anakku menderita sakit lalu aku buatkan air buah untuknya di cangkir. Ketika Nabi  masuk ternyata air buah tersebut sudah basi. Lalu beliau berkata, ‘Apa ini?’ Aku menjawab, ‘Anakku sedang sakit dan aku buatkan air buah untuknya.’ Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyembuhkan kalian dengan benda yang haram,” (Hasan lighairihi, HR Abu Ya’la [6966] dan Ibnu Hibban [1391]).
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman, “Bahwasanya seorang dokter pernah menanyakan kepada Rasulullah saw. tentang hukum katak yang dijadikan obat, maka beliau melarang dokter itu membunuh katak,” (Shihih, HR Abu dawud [387]).
Kandungan Bab:
Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab Zaadul Ma’aad (IV/156), “Pengobatan dengan benda haram adalah yang buruk, baik ditinjau dari segi akal maupun syari’at. Adapun dari segi syari’at maka berdasarkan hadits-hadits ini dan hadits lainnya. Adapun dari segi akal bahwasanya Allah telah mengharamkannya, sebab benda haram itu kotor. Sesungguhnya Allah tidak mengharamkan sesuatu yang baik sebagai hukuman terhadap ummat Islam, sebagaimana mengharamkannya kepada bani Israel dalam firman-Nya, “Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi Kami haramkan atas mereka memakan makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka,” (An-Nisaa’: 160).
Jadi Allah hanya mengharamkan bagi umat Islam ini benda-benda yang kotor saja dan Ia mengharamkan untuk memelihara dan menjaga mereka agar tidak memakannya. Oleh karena itu, sungguh tidak pantas mencari kesembuhan dari benda-benda yang dipenuhi berbagai penyakit. Kalaupun benda itu dapat berpengaruh membasmi penyakit, namun sebenarnya benda itu dapat menimbulkan penyakit lebih akut dari penyakit sebelumnya yang bersarang di hati sebagai efek samping yang ditumbulkan oleh kotoran yang terkandung pada benda tersebut, sehingga orang yanb berobat tersebut berusaha untuk menghilangkan sakit badan dengan cara menimbulkan penyakit pada hati.
Diharamkannya benda-benda kotor untuk dijadikan obat merupakan bukti bahwa dengan cara apapun benda tersebut harus dijauhi dan dihindari. Menjadikannya sebagai obat berarti menganjurkan untuk menyukai dan menyentuh benda tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan maksud syari’at.
Dan juga benda kotor merupakan sumber penyakit sebagaimana yang telah dijelaskan oleh pemilik syari’at, oleh karena itu tidak boleh dijadikan sebagai obat. Dan juga dapat menghasilkan sifat jelek pada tabiat dan mental. Sebab tabi’at akan sangat terpengaruh oleh cara pengobatan yang diberikan. Apabila caranya kotor maka akan muncul sifat kotor pada tabiatnya. Ini apabila caranya yang kotor, bagaimana jika bendanya yang kotor? Oleh karena itu Allah telah mengharamkan bagi hamba-Nya makanan, minuman dan pakaian kotor. Alasannya karena jiwa akan menyerap bentuk dan sifat yang kotor.
Dan juga, pembolehan berobat dengan benda haram, terutama jika nafsu condong kepada benda yang haram, merupakan sarana bagi nafsu untuk meraih syahwat dan kelezatan. Apalagi jika nafsu itu mengetahui bahwa benda haram itu berkhasiatu untuk menghilangkan penyakit dan mendatangkan kesembuhan. Tentunya itu suatu hal yang paling dia sukai.
Syari’at menutup semua kemungkinan agar nafsu tidak mendapatkan peluang ini. Tidak syak lagi bahwa antara menutup hal-hal yang menjurus ke syahwat dan yang membuka semua hal yang menjurus kepada syahwat merupakan perkara yang saling bertentangan.
Di sinilah letak rahasia mengapa tidak dibenarkan berobat dengan menggunakan benda-benda yang haram. Sebab syarat penyembuhan dengan obat adalah obat tersebut haruslah cocok, diyakini manfaatnya dan keberkahan yang dijadikan Allah pada obat tersebut hingga mampu menyembuhkan penyakit. Benda yang bermanfaat ialah benda yang mengandung berkah dan benda yang paling bermanfaat ialah yang paling banyak berkahnya. Seorang yang diberkahi dimanapun ia berada akan bermanfaat bagi orang lain.
Sudah dimaklumi bahwa keyakinan seorang muslim terhadap haramnya suatu benda percaya bahwa dia akan mendapatkan berkah dan manfaat dari benda itu, menghalanginya berbaik sangka terhadap benda itu dan tidak diterima oleh benda tabi’atnya. Semakin tebal keimanan seorang hamba maka semakin besar pula kebenciannya dan semakin buruk keyakinan terhadap benda tersebut dan nalurinya juga ikut membencinya. Jika dalam kondisi seperti ini ia menelan obat haram tersebut maka obat tersebut akan menjadi penyakit bukan obat. Kecuali jika pupus keyakinan akan kotornya benda tersebut, hilangnya prasangka buruk dan perasaan benci telah berubah menjadi suka. Ini berarti bertentangan dengan keimanan dan tentunya seorang mukmin tidak akan memakannya kecuali dengan keyakinan bahwa benda tersebut adalah penyakit.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/202-204.
Image result for haram

Related Posts:

Larangan Berobat dengan Kay (Melekatkan Besi Panas Pada Tubuh)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Nabi bersabda, “Ada tiga cara pengobatan: Berbekam, minum madu atau dengan kay dan aku melarang umatku melakukan kay,” (HR Bukhari [5671]).
Diriwayatkan dari Jabi bin Abdullan, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila ada kebaikan dalam pengobatan yang kalian lakukan maka kebaikan itu ada pada berbekam, minum madu, membakar dengan api akan tetapi aku tidak suka berobat dengan cara kay’,” (HR Bukhari [5702] dan Muslim [2205]).
Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah, dari Nabi beliau bersabda, “Barangsiapa melakukan pengobatan dengan cara kay atau meminta untuk diruqyah berarti ia tidak bertawakal,” (Shahih, HR at-Tirmidzi [2055] dan Ibnu Majah [3489]).
Kandungan Bab:
  1. Makruh melakukan pengobatan dengan cara kay karena mengandung penyiksaan dengan menggunakan api dan bertentangan dengan sikap tawakal. Salah satu sifat dari orang-orang yang masuk surga tanpa hisab mereka tidak melakukan pengobatan dengan cara kay sebagaimana yang tercantum dalam hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. 
  2. Pengobatan pamungkas adalah dengan cara kay. Oleh karena itu Rasulullah  menyebutkannya sebagai obat, karena beliau melakukannya jika terapi dengan meminum obat tidak mengurangi penyakit. Menjadikan kay sebaga cara pengobatan yang terakhir hingga terpaksa menggunakan kay dan tidak tergesa-gesa melakukan pengobatan dengan cara ini. Wallahu a’lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/202-204.
Image result for besi panas

Related Posts:

Larangan Terhadap Orang Yang Lari Dari Wabah Tha’un/Sampar

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid , bahwasanya Rasulullah bersabda, “Wabah Tha’un merupakan siksa atau adzab yang dikirimkan kepada bani Israel atau dikirimkan kepada ummat sebelum kalian. Apabila kalian mendengar wabah ini menyerang suatu daerah maka jangan kalian masuki daerah tersebut dan apabila kalian berada di sana maka janganlah kalian keluar untuk menghindarinya,” (HR Bukhari [5727] dan Muslim [2218]).
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf , “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Apabila kalian mendengar wabah tersebut menyerang suatu daerah maka janganlah kalian memasuki daerah tersebut dan apabila kalian berada di sana maka janganlah kalian keluar untuk menghindarinya’,” (HR Bukhari [5729] dan Muslim [2219]).
Diriwayatkan dari Aisyah,dari Nabi  bersabda, “Mati karena mengidap penyakit thaun termasuk syahidny amatku karena akibat tusukan musuh kalian dari kalangan jin. Dan tapal seperti tapalan unta yang tumbuh di pangkal-pangkal kaki dan marraq (kulit tipis yang ada di bawah perut). Barangsiapa yang meninggal karena karena mengidap penyakit itu maka ia mati syahid dan barangsiapa tetap tinggal di daerah tersebut maka ia seperti orang yang sedang berjaga-jaga dalam jihad fi sabilillah dan barangsiapa yang lari dari daerah tersebut maka ia seperti seorang yang lari dari perang,” (Hasan,lihat kitab ash-Shahihah [1928]).
Kandungan Bab:
  1. Larangan keras terhadap orang yang lari dari daerah yang terserang wabah thaun dan memasuki daerah tersebut. 
  2. Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Zaadul Ma’aad (IV/37) berkata, “Tha’un adalah sejenis wabah penyakit. Menurut ahli medis, thaun adalah pembengkakan kronis dan ganas, sangat panas dan nyeri hingga melewat batas pembengkakan sehingga kulit yang ada di sekitarnya bisa berubah menjadi hitam, hijau, atau berwarna buram dan cepat bernanah. Biasanya pembengkakan ini muncul di tiga tempat: Ketiak, belakang telinga, puncak hidung dan disekitar daging lunak.” 
  3. Ia juga berkata, “Nanah, bengkak dan luka tersebut adalah efek penyakit thaun, bukan penyakit itu sendiri. Namun para ahli medis tidak dapat mendeteksi thaun kecuali hanya efeknya saja, lantas mereka menyebut efek tersebut dengan penyakit thoun.”
    Penyakit thoun diungkapkan dengan tiga hal:
    Pertama: Pengaruh yang tampak. Inilah yang disebutkan oleh para medis.
    Kedua: Yang menyebabkan kematian. Dan inilah yang dimaksud dengan sabda beliau dalam hadits shahih, “Sampar adalah syahid bagi setiap muslim.”
    Ketiga: Penyebab aktif timbulnya penyakit ini. Dalam sebuah hadits shahih tercantum, “Thaun adalah sisa siksaan yang telah dikirimkan Allah kepada Bani Israel.”
    Dalam hadits tersebut tercantum, “Thaun adalah tusukan jin.” Juga tercantum bahwa thoun ini terjangkit karena do’a seorang nabi.
    Tidak ada ahli medis yang mampu menolak penyebab-penyebab munculnya penyakit ini dan mereka juga tidak mampu memberikan bukti yang menunjukkan indikatornya. Para Rasul mengabarkan tentang perkara ghaib serta pengaruh yang mereka ketahui tentang penyakit tha’un. Mereka juga tidak dapat menafikan munculnya penyakit ini melalui perantaraan jiwa. Sebab pengaruh jiwa pada kekuatan natural, penyakit dan kebinasaan merupakan perkara yang tidak dapat dipungkiri kecuali oleh orang-orang yang terlalu jahil terhadap ilmu jiwa dan pengaruhnya, serta reaksi tubuh dan tabi’atnya.
    Allah menjadikan jiwa dapat mengatur tubuh anak Ada ketika beredar wabah penyakit dan terjadinya polusi. Jiwa juga memiliki pengaruh terhadap beberapa zat beracun yang dapat menimbulkan efek buruk terhadap diri seseorang. Terutama ketika terjadi gejolak darah dan empedu serta ketika gejolak sperma berlangsung. Sesungguhnya kekuatan ruh syaitan lebih berhasil mempengaruhi orang yang sedang mengalami gejolak seperti ini daripada orang yang tidak mengalaminya.
    Selama orang tersebut tidak menolaknya dengan kekuatan yang melebihi gejolak tersebut seperti dzikir, do’a, dan memohon dengan sepenuh hati, merendahkan diri, bersedekah dan membaca Al-Qur’an, maka hal itu akan mengundang turunnya ruh-ruh dan para malaikat yang dapat mengalahkan pengaruh ruh-ruh yang jahat, membasmi kejahatan dan menolak pengaruhnya.
    Perkara ini acapkali kami lakukan. Hanya Allah sajalah yang dapat menghitungnya. Menurut hemat kami, memanggil ruh-ruh yang bait itu dan mendekatinya akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menguatkan mental dan menolak pengaruh-pengaruh buruk. Hal itu bila pengaruh-pengaruh tersebut belum menguasai dan bersemayam dalam jiwa. Sebab bila sudah demikian ia tidak akan mau beranjak.
    Barangsiapa yang diberi taufik oleh Allah maka ia bersegera apabila merasakan pengaruh-pengaruh buruk itu untuk mengamalkan sebab-sebab yang dapat menolaknya. Itu merupakan obat yang paling bermanfaat baginya. Dan apabila Allah berkehendak melaksanakan ketetapan dan takdir-Nya maka Dia akan membuat hati seorang hamba lalu dari mengenalnya, menggambarkannya dan menghendakinya, maka ia tidak merasakannya dan tidak menginginkannya sehingga Allah menetapkan perkara yang pasti terjadi. 
  4. Ibnul Qayyim berkata (IV/42), “Rasulullah  telah melarang umatnya memasuki daerah yang terkena wabah tha’un dan melarang orang yang sedang berada di daerah tersebut keluar darinya. Ini merupakan tindakan preventif dari beliau. Sebab memasuki daerah yang terjangkiti wabah berarti tindakan menentang mara bahaya. Tidak memasukinya merupakan pencegahan agar tidak mewabah di daerahnya dan penjagaan seorang insan terhadap dirinya. Dan itu (memasuki daerah wabah) merupakan tindakan yang bertentangan dengan syari’at dan akal. Bahkan mendhindar dari daerah tersebut termasuk bab penjagaan diri yang dianjurkan Allah , yakni penjagaan diri dari daerah mukim dan udara yang sudah tercemar oleh wabah penyakit.”
    Adapun larangan keluar dari daerah itu mempunyai dua makna:
    1. Menjaga diri tetap yakin terhadap Allah dan bertawakal kepada-Nya, sabar atas takdir-Nya dan ridha terhadap ketetapan-Nya. 
    2. Sebagaimana yang dikatakan oleh pakar medis, “Bagi mereka yang ingin menjaga diri dari wabah penyakit maka ia harus mengeluarkan dari badannya cairan yang berlebih (misalnya keringa) dan mengurangi makan serta melakukan aktivitas apa saja yang dapat mengeringkan cairan tersebut, hanya saja ia tidak boleh berolah raga dan mandi. Keduanya termasuk pantangan yang harus dijauhi. Sebab tubuh tidak bisa terlepas dari sisa buruk yang terdapat dalam tubuh. Olah raga dan mandi dapat membangkitkannya dan mencampur aduknya dengan zat yang baik, dan hal itu akan menyebabkan penyakitnya bertambah parah. Bahkan ketika wabah penyakit tha’un menyerang, wajib bersikap diam dan tenang serta menenangkan diri dari gerakan-gerakan yang dapat membuat gejolak campuran itu. Tidak mungkin keluar dan pergi meninggalkan daerah yang terserang wabah tanpa melakukan gerakan yang berat dan ini dapat membahayakan badan.”
      Ini merupakan pernyataan dari ahli medis terbaik pada abad ini. Dengan demikian jelaslah makna kesehatan yang mengandung pengobatan dan kemaslahatan hati dan badan sekaligus.
      Jika ada yang mengatakan, “Pada sabda Nabi , ‘Janganlah kalian lari keluar dari daerah tersebut’ adalah pernyataan yang membatalkan makna yang telah kalian sebutkan tadi. Hadits ini tidak melarang keluar disebabkan adanya hal yang mendadak dan tidak pula melarang seorang musafir melkaukan perjalanannya.”
      Dijawab, “Perkataan ini tidak pernah diucapkan oleh medis dan lainnya, bahwa ketika wabah menyerang manusia harus meninggalkan gerakan dan tinggal di rumahnya seperti benda mati. Tetapi seharusnya mereka berusaha untuk meminimalkan semua gerakan. Menghindari penyakit itu tidak harus melakukan gerakan kecuali untuk menghindar, sementara tetap diam dan tenang dapat lebih bermanfaat untuk hati dan tubuh, lebih bertawakal kepada Allah Ta’ala dan berserah diri pada ketentuan Allah.”
      Adapun sesuatu yang harus dilakukan dengan gerakan seperti buruh, pegawai, musafir, kurir dan lain-lain tidak bisa dikatakan kepada mereka. Kalian jangan bergerak sama sekali.
      Jadi yang disuruh untuk ditinggalkan adalah gerakan-gerakan yang tidak diperlukan, seperti seorang yang sedang berlari menghindar dari penyakit. Allahu a’lam.
    Dilarangnya masuk ke daerah yang sedang terjangkit wabah memiliki beberapa hikmah:
    Pertama: Menghindar dan menjauhkan diri dari sebab-sebab yang membahayakan.
    Kedua: Menjaga kesehatan yang merupakan unsur hidup di dunia dan akhirat.
    Ketiga: Jangan sampai ia menghirup udara yang tercemar dengan penyakit sehingga mengakibatkan ia sakit.
    Keempat: Jangan sampai ia mendekati orang-orang yang sudah terserang penyakit. Sebab mendekati mereka dapat menyebabkan ia tertular penyakit mereka.
    Dalam kitab Sunan Abi Dawud dengan sanad yang marfu’ disebutkan, “Sesungguhnya qaraf itu menyebabkan kematian.”
    Ibnu Qutaibah berkata, “Qaraf adalah mendekati orang yang sudah terserang wabah.”
    Kelima: Menghindarkan diri dari ramalan-ramalan buruk dan dari penularan penyakit, sebab dua hal itu dapat mempengaruhi jiwa. Dan bagi yang memberikan ramalan jelek maka ia akan terkena kejelekan.
    Kesimpulannya:
    Larangan masuk ke daerah yang sudah terjangkit penyakit merupakan perintah untuk menjaga dan membentengi diri dan larangan untuk mendatangi perkara yang dapat mengakibatkan kebinasaan. Adapun larang keluar dari daerah tersebut merupakan perintah untuk bersikap tawakal, menyerah dan pasrah terhadap ketentuan Allah. 
  5. Larangan masuk dan keluar dari daerah yang terserang wabah penyakit thau’un masih berlaku hingga saat ini dan teorinya masih dipakai disemua rumah sakit yang dikenal dengan ruang isolasi. Semua orang dilarang keluar masuk ke ruangan tersebut kecuali dokter dan perawat. Fungsinya untuk menghindari tersebarnya penyakit. Bab ini menunjukkan mukjizat dan kebenaran apa yang dibawa Nabi  Sebab cara pengobatan nabi tidak melalui penelitian.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/204-212.

Image result for masker

Related Posts: