Larangan Memberikan Warisan Kepada Orang Kafir dan Sebaliknya

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid bahwasanya Nabi bersabda, 
“Seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi seorang muslim,” (HR Bukhari [6764] dan Muslim [1614]).
Dalam bab ini terdapat hadits dari Abdullah bin Umr, Jabir, Dan Abdullah bin Abbas.
Kandungan Bab:
  1. Perbedaan agama merupakan penghalang hak pewarisan. Dan barangsiapa membolehkan seorang muslim menerima warisan dari ahlul kitab dan mengkiyaskan dengan bolehnya menikahi ahli kitab, maka ini adalah qiyas yang salah dan bertentangan dengan nash.
  2. Jika seorang kafir masuk Islam sebelum dibagikannya warisan, maka ia tidak menerima warisan. Karena warisan berhak dimiliki dengan kematian orang yang mewariskan. Sedangkan ketika itu ia masih kafir. Dengan demikian saat itu ada penghalang yang menghalanginya untuk menerima warisan. Bentuk masalahnya adalah jika seorang meninggal dunia sedangkan ia meninggalkan dua orang anak, seorang muslim dan seorang kafir. Lalu anak yang kafir tersebut masuk Islam sebelum harta warisan dibagikan.
  3. Dua orang yang berlainan agama tidak saling mewarisi meskipun keduanya kafir.
    Asy-Syaukani berkata dalam kitabnya Nailul Authar (6/194), “Dan kesimpulannya hadits-hadits bab memutuskan bahwa seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir, baik kafir harbi, dzimmi, ataupun murtad. Tidak boleh dikhususkan darinya kecuali dengan dalil.”
    Zhahir dari ucapan beliau, “Dua orang yang berlainan agama tidak saling mewarisi.” adalah seorang pemeluk agama kafir dari pemeluk agama kafir yang lain. Ini yang dikatakan oleh al-Auza’i, Malik, Ahmad, dan al-Hadawiyah. Adapun jumhur membawakan maksud dua millah di sini adalah Islam dan Kafir. Tidak samar lagi jauhnya pendapat itu. Adapun dalam masalah hak warisan seorang yang murtad terdapat pendapat-pendapat lain selain yang kami sebutkan di atas.
Sumber: 
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/445-453.

Related Posts:

Larangan Memotong Tangan Pencuri Yang Tidak Mencapai Nishab Dalam Mencurinya

Diriwayatkan dari Aisyah , dari Rasulullah bersabda, 
Tidak boleh dipotong tangan pencuri kecuali ia mencuri barang seharga seperempat dinar atau lebih,” 
(HR Muslim [1684]).
Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij , bahwasanya Rasulullah  bersabda, 
“Tidak ada potong tangan pada pencurian tsamar dan katsar,” 
(Shahih, HR at-Tirmidzi [1449] dan Ibnu Majah [2593]).
Diriwayatkan dari Amr bin Sya’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah , bahwasanya beliau ditanya tentang buah yang masih tergantung di pohon. Maka beliau bersabda, 
Barangsiapa mengambilnya karena kebutuhan tanpa mengantonginya, maka tidak ada hukuman atasnya. Barangsiapa yang membawanya keluar maka ia dikenakan denda dua kali lipat dan hukuman. Barangsiapa mencuri buah yang telah disimpan dalam tempat pengeringan kurma dan mencapai harga seperempat dinar maka ia dipotong tangannya,” 
(Shahih lighairihi, HR Abu Dawud [1710] dan at-Tirmidzi [1289]).
Diriwayatkan dari Junadah bin Abi Umayah, dia berkata, “Kami bersama Busr bin Arthah berada dalam perjalanan di lautan. Lalu dibawalah seorang pencuri bernama mashdar yang telah mencuri kain bukhtiyah. Maka Busr berkata, ‘Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tidak boleh dipotong tangan karena mencuri dalam perjalanan.’ Kalaulah bukan karena hadits itu niscaya aku telah memotong tangannya’,” 
(Shahih, HR Abu Dawud [4408] dan at-Tirmidzi [1450]).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah , bahwasanya Nabi bersabda, 
“Tidak ada hukum potong tangan bagi seorang muntahib (penodong), pencopet, dan pengkhianat,” 
(Shahih, HR Abu Dawud [4391]).
Kandungan Bab:
  1. Hukuman potong tangan bagi pencuri ditetapkan dalam Kitab, Sunnah, dan ijma’. Akan tetapi dalam masalah ini ada beberapa cabang yang menghalangi jatuhnya hukum potong tangan. Itulah yang aku kumpulkan dalam bab ini.
  2. Tidak boleh dipotong tangan seorang pencuri kecuali jika barang yang dicurinya telah mencapai harga seperempat dinar lebih, atau tiga dirham, atau harga al-mijan (perisai). Tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini. Satu dinar sama dengan dua belas dirham. Maka seperempat dinar ialah tiga dirham. Dan harga al-mijan adalah tiga dirham.
    Oleh karena itu nishab barang curian adalah tiga dirham. Jika barang yang dicuri telah mencapai tiga dirham, maka jatuhlah hukum potong tangan. Dan jika belum mencapai tiga dirham, maka tidak dipotong.
  3. Mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam dari tempat penyimpanan. Jika barang itu tidak disimpan atau dilindungi atau mengambil secara terang-terangan maka ia disebut mukhtalis, muntahib, dan khaain dan tidak ada hukum potong tangan atasnya.
  4. Buah-buahan jika telah dipagar dan yang dicuri telah mencapai nishab maka wajib dijatuhkan hukum potong tangan. Namun jika tidak dipagar maka ia terkena denda yang dilipatgandakan dan hukuman. Dengan demikian hadits Abdullah bin Amr mengkhususkan hadits Rafi’.
    Ath-Thahawi berkata dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/173), “Rasulullah saw. membedakan buah yang dicuri antara buah yang disimpan di tempat pengeringan dengan buah yang belum disimpan yakni yakni masih berada di pohon. Dan menetapkan hukum potong tangan dalam pencurian buah yang telah disimpan. Adapun buah yang belum disimpan maka sangsinya adalah denda dan hukuman.”
    Penjelasan hadits ini dan hadits riwayat Rafi’ dari Rasulullah , “Tidak ada hukum potong tangan pada tsamar dan katsar,” adalah membawakan hadits Rafi’ kepada makna buah-buahan yang berada di kebun dan tidak dipagar atau dilindungi apa-apa yang ada di dalamnya. Dan apa yang disebutkan dalam hadits Abdullah bin Amr sebagai tambahan bagi hadits Rafi’. Berbeda dengan hadits Rafi’, dalam hadits ini disebutkan hukum potong tangan dan tidak ada hukum potong tangan pada selain itu. Kedua atsar ini sejalan dan tidak bertentangan. Dan ini adalah ucapan Abu Yusuf.
  5. Demikian halnya mencuri kambing yang berada di padang gembalaan. Yakni tempat khusus untuk mengembala yang berada di gunung. Tidak ada hukum potong tangan padanya kecuali jika dipagar atau dijaga.
  6. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah penjagaan bagaimana sifatnya. Dan yang benar adalah setiap bentuk yang dimaklumi manusia sebagai bentuk penjagaan bagi harta semacam itu. Maka itu mu’abar. (lihat Syarah Sunnah [X/319]).
  7. Tidak ditegakkan hukuman pada saat safar dan peperangan.
    At-Tirmidzi berkata (4/53), “Inilah yang diamalkan menurut sebagian ulama, diantaranya al-Auza’i. Tidak boleh ditegakkan hukuman dalam pertempuran saat berhadapan dengan musuh karena dikhawatirkan orang yang dijatuhkan hukuman itu akan bergabung dengan musuh. Dan jika imam telah keluar dari medan pertempuran dan kembali ke daarul Islam maka hukuman dilaksanakan pada orang yang berhak menerimanya. Demikian yang dikatakan al-Auza’i.”
  8. Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukuman potong tangan pada orang yang mengingkari barang pinjaman. Karena perbendaan mereka dalam menyikapi kisah seorang wanita Makhzumiyah, apakah ia meminjam barang lalu mengingkarinya ataukah ia mencuri. Keduanya disebutkan dalam riwayat.
    Diriwayatkan dari Aisyah r.a, dia berkata, “Seorang wanita Makhzumiyah meminjam barang lalu mengingkarinya. Maka Nabi saw. memerintahkan agari dipotong tangannya,” (HR Muslim [1688]).
    Dan diriwayatkan juga darinya, “Orang-orang Quraisy dibuat prihatin oleh seorang wanita Makhzumiyah yang mencuri,” (takhrij akan disebutkan pada berikutnya).
    Saya katakan, “Kedua riwayat ini tidak saling bertentangan, walhamdulillah, ditilik dari beberapa sisi:
    1. Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini menafsirkan maksudnya. Diantaranya penejelasan bahwasanya mengingkari barang pinjaman termasuk dalam kategori mencuri menurut tinjauan syar’i.
    2. Riwayat ini tidak bertentangan dengan sabda Nabi , “Tidak ada hukum potong tangan bagi khaain,” dimana sebagian ulama membawakan maknanya kepada orang yang meminjam lalu mengingkari. Dan yang benar al-khaain adalah yang mengingkari barang titipan.
    Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah membantas masalah ini dan berkata dalamZaadul Ma’ad (V/50), “Dan hukuman bagi seorang wanita yagn meminjam barang lalu mengingkarinya adalah dipotong tangannya. Imam Ahmad menyebutkan hukuman ini, dan ini tidaklah bertentangan. Adapun hukum Nabi saw. yang mengangkat hukum potong tangan dari seorang muntahib, mukhtalis, dan khaain, yang dimaksud dengan khaain adalah orang yang mengkhianati barang yang dititipkan kepadanya.”
    Adapun orang yang mengingkari barang pinjaman termasuk dalam kategori mencuri menurut tinjauan syari’at. Karena Nabi ketika para sahabat melaporkan kepada beliau tentang seorang wanita yang meminjam barang dan mengingkarinya, beliau memerintahkan agar dipotong tangannya, seraya mengatakan, “seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya telah aku potong tangannya.”
    Dimasukkan seroang yang mengingkari barang pinjaman dalam kategori pencuri adalah sebagaimana dimasukkannya seluruh benda yagn memabukkan dalam kategori khamr. Maka silahkan diperhatikan. Itu adalah penjelasan bagi ummat tentang maksu Allah dalam kalam-Nya.
Sumber: 
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/453-463.

Related Posts:

Larangan Menuduh Wanita Baik-Baik Lagi Mukminah Berbuat Zina

Allah berfirman, 
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik,” (an-Nuur: 4).
Allah Ta’ala juga berfirman, 
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya),” (an-Nuur: 23-25).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang mendatangkan kebinasaan.” Para sahbat bertanya, “Apakah ketujuh perkara itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan syari’at, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, dan melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita mukminah yang terjaga dari perbuatan dosa dan tidak tahu menahu dengannya,” (telah disebutkan takhrijnya).
Kandungan Bab:
  1. Kerasnya pengharaman menuduh berzina wanita mukminah yang terjaga dari perbuatan dosa dan tidak tahu menahu dengannya. Dan penjelasan bahwasanya perbuatan itu termasuk dosa besar dan terdapat di dalamnya laknat, adzab, dan disyari’atkannya hukuman.
  2. Hukum menuduh laki-laki baik sama dengan menuduh wanita baik-baik. Para ulama tidak membedakan antara keduanya.
  3. Hukuman bagi pelaku perbuatan ini mengandung tiga hukuman: dicambuk sebanyak delapan puluh kali, tidak diterima persaksiannya, dan pelakunya dihukumi fasik.
  4. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum menuduh budak berbuat zina, apakah wajib dijatuhkan hukuman ataukah tidak? Dan telah disebutkan pendapat yang rajih yakni wajibnya dijatuhkan hukuman dalam kitab al-‘itqu.
  5. Terangkatnya hukuman bagi palaku jika ia mendatangkan empat orang saksi.
  6. Barangsiapa menuduh seseorang melakukan liwath (homosek) atau mengeluarkan seorang dari nasabnya yang ma’ruf, maka ia dicambuk sebagaimana hukuman menuduh zina.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/453-463.

Related Posts:

Larangan Melakukan Perbuatan Kaum Luth

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas,” (al-A’raaf: 81).
Allah Ta’ala berfirman, “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu),” (an-Naml: 55).
Allah Ta’ala berfirman, “Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun[1149] dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar,” (al-Ankabuut: 29).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Rasulullah bersabda,“Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan atas ummatku adalah perbuatan kaum Luth (homoseksual),” (Hasan, HR at-Tirmidzi [1457]).
Diriwayatkan dasri Abdullah bin Abbas, “Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth’,” (Shahih, HR Ahmad [I/3090]).
Kandungan Bab:
  1. Larangan keras terhadap perbuatan kaum Luth.
  2. Hukuman bagi pelaku liwath adalah dibunuh. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas , ia berkata, “Rasulllah bersabda, ‘Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah baik pelaku maupun yang dilakukan terhadapnya’,” (Shahih, HR Abu Dawud [4462]).
  3. Para ulama berbeda pendapat tentang kaifiyah membunuhnya. Ada yang mengatakan, diruntuhkan bangunan atas keduanya. Ada yang mengatakan, dilemparkan dari tempat yang tinggi sebagaimana yang dilakukan terhadap kaum Luth. Dan pendapat yang paling kuat adalah dirajam, berdasarkan hadits Abu Hurairah , dari Nabi tentang pelaku liwath, “Rajamlah baik yang di atas maupun yang di bawah. Rajamlah keduanya.”
  4. Bila dikatakan, “Paraulama telah berselisih pendapat tentang hukuman bagi pelaku liwath.” Maka jawabnya perselisihan ini tidak mu’tabar, berdasarkan beberapa alasan:
    • Shahihnya hadits-hadits tentang hukuman bagi pelaku liwath.
    • Ijma’ sahabat atas pembunuhan pelaku liwath. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (V/40), “Tidak ada riwayat dari Nabi saw. bahwasanya beliau menetapkan hukuman bagi pelaku liwath. Karena perbuatan seperti ini tidak dikenal di kalangan bangsa Arab dan permasalahan tersebut tidak pernah diangkat kepada beliau. Akan tetapi telah shahih riwayat bahwasanya beliau bersabda, ‘Bunuhlah baik pelaku ataupun yang dilakukan terhadapnya.’ Hadits ini diriwayatkan oleh penulis kitab Sunnan yang empat dan sanadnya shahih. At-Tirmidzi berkata, ‘Hadits hasan dan Abu Bakar menetapkan hukum ini serta menulis kepada Khalid setelah bermusyawarah dengan para sahabat. Dan Ali adalah orang yang paling keras dalam masalah ini’.”
    Ibnu Qashar dan Syaikh kami berkata, “Para sahabat telah bersepakat atas pembunuhan pelaku liwath. Dan mereka berselisih tentang cara membunuhnya.” Abu Bakar ash-Shidiq berkata, “Dilempar dari tempat yang tinggi.” Ali berkata, “Diruntuhkan bagunan atasnya.” Dan Ibnu Abbas berkata, “Keduanya dibunuh dengan batu.” Ini merupakan kesepakan mereka atas pembunuhan pelaku liwath meskipun mereka berbeda pendapat tentang cara membunuhnya.Penulis kitab ad-Da’ wad Dawa’berkata (hal.263), “Para sahabat Rasulullah saw. telah bersepakat atas pembunuhan pelaku liwath. Tidak ada seorangpun dari mereka yang menyelisihinya. Dan mereka berbeda pendapat tentang cara membunuhnya. Sebagian orang menyangka bahwasanya mereka berselisih dalam hal membunuhnya dan mengira bahwa masalah ini diperselisihkan di antara para sahabat. Padahal masalah ini adalah ijma’ di antara mereka, bukan masalah yang diperselisihkan.”
Sumber:
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/453-463.

Related Posts:

Larangan Menyetubuhi Binatang

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , Rasulullah bersabda, 
Barangsiapa kalian dapati sedang menyetubuhi binatang, maka bunuhlah ia dan bunuhlah binatang tersebut.”
Dikatakan kepada Ibnu Abbas, “Mengapa binatang itu juga dibunuh?” Dia menjawab, “Aku tidak mendengar dari Rasulullah saw. apa alasannya. Akan tetapi aku melihat beliau benci memakan dagingnya atau memanfaatkannya sementara telah dilakukan perbuatan nista tersebut terhadapnya,” 
(Shahih, HR Abu Dawud [4664]).
Kandungan Bab:
  1. Kerasnya pengharaman menyetubuhi binatang. Ibnu Hazm berkata dalam al-Muhalla(11/388), “Tidak ada perselisihan di antara seorangpun dari para imam bahwasanya menyetubuhi binatang hukumnya haram. Dan pelakunya adalah pelaku perbuatan mungkar.”
  2. Hukuman bagi orang yang menyetubuhi binatang adalah dibunuh.
    Ibnu Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’aad (5/41), “Dan hukum ini selaras dengan hukum syari’at. Sesungguhnya suatu perkara haram, jika semakin keras pelarangannya maka semakin berat pula hukumannya. Dan menyetubuhi sesuatu yang tidak boleh disetubuhi sama sekali lebih besar dosanya daripada menyetubuhi sesuatu yang boleh disetubuhi pada sebagian keadaan. Maka hukumannya juga semakin keras. Imam Ahmad menetapkan salam salah satu riwayat darinya bahwa hukuman orang yang menyetubuhi binatang sama dengan hukuman pelaku liwath. Yakni dibunu, atau hukumannya sama dengan hukuman pezina. Para salaf berselisih pendapat dalam masalah itu. Al-Hasan berkata, ‘Hukumannya adalah hukuman pezina.’ Abu Salamah meriwayatkan darinya, ‘Pelakunya dibunuh.’ Asy-Sya’bi dan an-Nakha’i berkata, ‘Diberi hukuman peringatan.’ Dan ini pendapat yang diambil Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam sebuah riwayat. Ibnu Abbas memfatwakan hal itu dan dia adalah perawi hadits.”
  3. Hewan tersebut dibunuh. Dan telah disebutkan alasan hal itu bahwasanya Rasulullah saw. benci memakan dagingnya atau memanfaatkannya. Dan dikatakan, “Agar pemiliknya tidak rusak kehormatannya.” Dikatakan juga, “Agar orang-orang tidak ingat terhadap perbuatan nista tersebut saat melihat binatang itu.” Dan masih ada pendapat-pendapat yang lain.
    Asy-Syaukani berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya binatang itu dibunuh. Dan alasannya adalah seperti yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud dan an-Nasa’i bahwasanya dikatakan kepada Ibnu Abbas, ‘Mengapa binatang itu juga dibunuh?’ (dan dia menyebutkan ucapannya).”
    Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa alasannya adalah agar tidak dikatakan, “Inilah binatang yang telah dilakukan terhadapnya begini dan begini.”
    Sebagian ulama berpendapat haramnya memakan binatang yang telah dilakukan terhadapnya perbuatan nista tersebut. Dan bahwasanya dia disembelih. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Ali bin Abi Thalib dan asy-Syafi’i dalam perkataannya.
    Adapun hadits bahwasanya Nabi melarang menyembelih binatang kecuali untuk dimakan adalah dalil umum yang dikhususkan dengan hadits bab.
Sumber: 
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/453-463.

Image result for logo hubungan

Related Posts:

Larangan Mencela Orang yang Menjalani Hukuman

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab, bahwasanya ada seorang laki-laki pada zaman Nabi  yang bernama Abdullah. Julukannya adalah himar. Ia sering membuar ketawa Rasulullah Nabi pernah menjatuhkan hukum cambuk kepadanya karena kasus minum minuman keras. Suatu hari ia dibawa ke hadapan Nabi, lalu beliau memerintahkan agar ia dicambuk. Seorang laki-laki berkata, “Ya Allah, laknatlah ia. Betapa besar dosa yagn ia lakukan.” Maka Nabi bersabda, “Janganlah engkau melaknatnya. Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali dia adalah orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya,” 
(HR Bukhori [6780]).   

Diriwayatkan dari Abu Hurairah , ia berkata, Nabi mendatangi seseorang yang sedang meminum khamr. Maka beliau memerintahkan agar ia didera. Diantara kami ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya dan ada yang memukul dengan bajunya. Setelah selesai ada yang berkata,”Ada apa dengannya, mudah-mudahan Allah menghinakannya.” Maka Rasulullah bersabda,“Janganlah kalian menjadi penolong syaitan atas saudara kalian,” 
(HR Bukhari [6781]).   

Diriwayatkan dari Buraidah , ia berkata, “Datang seorang wanita Ghamidiyah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku telah berzina, maka sucikanlah aku.’ Namun beliau  menolak persaksiannya. Keesokan harinya ia kembali dan berkata, ‘Wahai Rasulullah mengapa engkau menolakku? Barangkali engkau menolak persaksianku seperti engkau menolak persaksian Ma’iz. Demi Allah sesungguhnya aku sedang hamil.’ Rasulullah berkata, ‘Adapun sekarang tidak. Pergilah hingga engkau melahirkan.’ Setelah wanita itu  melahirkan, ia datang kepada Nabi dengan membawa bayinya dalam sebuah kain seraya berkata, ‘Ini aku telah melahirkan.’ Beliau berkata, ‘Pergilah dan susuilah ia hingga engkau menyapihnya.’  Setelah wanita itu menyapihnya, ia datang kepada Nabi bersama bayinya sedang di tangannya ada sekantong roti. Iapun berkata, ‘Wahai Nabi, aku telah menyapihnya dan ia telah makan makanan.’ Maka beliau menyerahkan bayi itu kepada salah seorang kaum muslimin kemudian memerintahkan agar wanita itu dikubur sebatas dadanya dan memintahkan orang-orang untuk merajamnya. Lalu datanglah Khalid bin Walid dengan membawa dan melempar kepala wanita itu. Maka memerciklah darah ke wajah Khalid. Lalu ia mencaci wanita itu. Nabi mendengar cercaan Khalid kepadanya, lalu ia bersabda:


‘Tahanlah wahai Khalid, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ia telah bertaubat dengan taubat yang seandainya shohibul maksi (yakni pembantu orang zhalim yang biasa menarik pajak saat jual beli. Dan biasa disebut al-Jamaarik) bertaubat dengannya niscaya akan diampuni.’ Kemudian beliau memerintahkan agar ia shalatkan dan dikuburkan.”
Kandungan Bab:
  1. Larangan melaknat dan mencela seseorang yang sedang mejalani hukuman. Karena hukuman merupakan kafarah.
  2. Melaknat orang yang menjalani hukuman atau mencelanya adalah perbuatan menolong syaitan atas orang tersebut. Karena syaitan ingin menghiasi maksiat baginya agar ia mendapat kehinaan. Jika ia mendo’akan bagi saudaranya kehinaan, laknat atau cercaan, maka seakan-akan mereka mewujudkan keinginan syaitan.
  3. Boleh memberikan teguran atau kecaman terhadap orang yang menjalani hukuman atas perbuatan buruknya. Misalnya dengan mengatakan, “Tidakkah engkau taku kepada Allah?” atau “Tidakkah engkau malu kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin?”
Sumber: 
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/474-475.

Related Posts: