Larangan Menasehati Seorang Penguasa Secara Terang-terangan

Diriwayatkan dari Syuraih bin Ubaid al-Hadhrami dan lain-lain berkata, “Iyadh bin Ghanim menjatuhkan hukum dera kepada salah seorang penduduk kampung yang baru dikuasai. Lalu Hisyam bin Hikam melontarkan kritik pedas yang membangkitkan kemarahan Iyadh. Setelah berlalu beberapa hari, Hisyam mendatangi Iyadh dan meminta maaf seraya berkata kepada Iyadh, 

“Tidakkah Anda mendengar bahwa Nabi pernah bersabda,‘Sesungguhnya orang yang paling banyak menyiksa manusia adalah orang yang paling berat siksaannya di akhirat kelak’,” Iyadh bin Ghanim berkata, ‘Ya Hisyam, kami pernah mendengar apa yang kamu dengar dan kami telah melihat apa yang Anda lihat, lantas apakah Anda pernah mendengar bahwa Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa ingin menasehati seorang penguasa dalam suatu urusan maka janganlah ia lakukan dengan cara terang-terangan, tetapi pergilah ia dan bicaralah empat mata. Jika ia terima (alhamdulillah) dan jika tidak berarti engkau telah melaksanakan kewajibanmu.’ Sesungguhnya engkau ya Hisyam terlalu berani jika engkau berani menentang penguasa yang diangkat Allah. Tidakkah engkau khawatir dibunuh oleh penguasa, yang berarti kamu sebagai korban pembunuhan yang dilakukan oleh penguasa Allah Tabaraka Wata’ala’,” 
(Shahih, HR Ahmad [III/403]).   

Diriwayatkan dari Sa’id bin Jamhan, ia berkata, “Aku pernah mengunjungi Abdullah bin Abi Aufa yang sudah buta, lalu aku mengucapkan salam kepadanya. Kemudian ia bertanya kepadaku, ‘Siapa kamu?’ Aku jawab, ‘Aku bernama Sa’id bin Jamhaan.’ Ia kembali bertanya, ‘Apa yang telah dilakukan terhadap ayahmu.’ ‘Dia bunuh orang-orang Azaariqah,’ jawabku. Rasulullah pernah bersabda kepada kami bahwa mereka adalah anjing-anjing neraka.’ Aku bertanya, ‘Apakah hanya orang-orang Azaariqah saja atau semua orang khawarij?’ ‘Bahkan semua orang khawarij,’ jawabnya.”

Kemudian aku berkata, “Sesungguhnya penguasa telah menzhalimi masyarakat dan bersikap keras terhadap mereka.’ Lalu Abdullah bin Abi Aufa memegang tanganku dan mencubitnya dengan keras, seraya berkata, ‘Celakalah kau ini wahai Ibnu Jahaam. Kamu wajib bersamasawadul a’zham. Kamu wajib bersama sawadul a’zham. Apabila penguasa mau mengikuti nasehatmu maka datangi ia ke rumahnya dan beritahu ia apa yang engkau ketahui. Jika mereka menerima saranmu (alhamdulillah) dan jika tidak maka biarkan saja, karena kamu tidak lebih tahu daripada dirinya’,” 

(Hasan, Ahmad [IV/382]).

Kandungan Bab:
  1. Celaan menasehati penguasa dengan terang-terangan dan bukanlah manhaj salaf membeberkan aib penguasa di depan khalayak ramai. Sebab hal itu dapat memprofokasi masyarakat dan menimbulkan fitnah. Para salaf mendangi penguasa di rumahnya dan berbicara empat mata. Di sinilah mereka menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat mungkar. Apabila penguasa itu menerima sarannya berarti itu merupakan karunia dari Allah dan apabila ia tidak mau peduli berarti ia sudah memiliki hujjah di hadapan Allah. Oleh karena itu ketika sebagian orang-orang berkata kepada Usamah bin Zaid r.a, “Mengapa Anda tidak mau  mengingatkan kebijakan Utsman?” Ia menjawab, “Aku tidak akan mengkritiknya di hadapan masyarakat. Kalaupun aku mau mengkritiknya tentu aku lakukan dengan empat mata dan aku tidak ingin membuka pintu kejahatan untuk manusia.”
  2. Khawarij dan dan semua jama’ah yang ghuluw (berlebih-lebihan) dan takfir selalu memegang kekeliruan para penguasa muslim untuk membangkitkan kemarahan orang-orang awam dan menimbulkan fitnah di kalangan orang-orang jahil. Oleh karena itu ketika khawarij dengan terang-terangan mengkritik Utsman, muncullah berbagai fitnah, pembunuhan dan kekacauan. Mereka itulah pembuka segala kejahatan. Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan dan fitnah mereka yang tetap ada, hingga generasi akhir mereka berperang bersama Dajjal.,” (Hasan, HR Ibnu Majah [174]).
  3. Hadits-hadits di atas mengisyaratkan makna yang indah, yaitu menghormati para ulama, pemimpin, dan penguasa agar kewibawaan mereka tetap tertanam dalam jiwa masyarakat. Dengan demikian mereka tetap mendengar dan mentaati perintah. Jangan sekali-kali memberanikan diri untuk membuat fitnah dan meceraiberaikan kaum muslimin. Hadits ini diriwayatkan dari jalur Ziyad bin Kusai al-‘Adawi, ia berkata, “Aku bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Abdullah bin Amir yang pada saat itu sedang berkhutbah dan mengenakan pakaian tipis. Abu Bilal berkata, ‘Lihat pemimpin kita, ia memakai pakaian orang-orang fasiq.’ Abu Bakrah berkata, ‘Diamlah! Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang menghinakan penguasa yang diangkat Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya’,” (Dhaif, HR at-Tirmidzi [2224] dan Ahmad [V/42]).
  4. Hadits-hadits bab tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah saw., “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zhalim,” (Shahih,Silsilah Ahadits ash-Shahihah [491]). Karena dari  hadits ini tidak dapat disimpulkan bolehnya menasehati penguasa secara terang-terangan. Bahkan yang benar adalah sebaliknya. Jadi kebenaran itu ia sampaikan langsung kepada penguasa zhalim, bukan di hadapan khalayak ramai dan bukan pula di mimbar-mimbar. Tetapi, berhubung penguasa tersebut adalah adalah penguasa  yang zhalim, bisa jadi ia akan membunuh si pemberi  nasehat yang amanah ini. Dengan demikian, si pemberi nasehat akan mendapat derajat tertinggi dalam kelompok para syuhada’ dan menjadi pemimpin para syuhada’. Allahu A’lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/536-539

Related Posts:

0 Response to "Larangan Menasehati Seorang Penguasa Secara Terang-terangan"

Post a Comment